Konsep Bugis Makassar
Konsep
arsitektur masyarakat tradisional Bugis-Makassar bermula dari suatu
pandangan hidup ontologis, bagaimana memahami alam semesta secara “universal”. Filosofi hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut “Sulapa Appa”, menunjukkan upaya untuk“menyempurnakan diri”. Filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk “Segi Empat”.Filosofi yang bersumber dari “mitos” asal mula kejadian manusia yang diyakini terdiri dari empat unsur, yaitu : tanah, air, api, dan angin.
Bagi
masyarakat tradisional Bugis-Makassar yang berfikir secara totalitas,
maka rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh pemahaman: “Struktur kosmos” dimana alam terbagi atas tiga bagian yaitu “alam atas” , “alam tengah”, dan “alam bawah”,. Abu Hamid (1978:30-31) dalam “Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan”
menuliskan bahwa rumah tradisional orang Bugis tersusun dari tiga
tingkatan yang berbentuk “segi empat”, dibentuk dan dibangun mengikuti
model kosmos menurut pandangan hidup mereka, anggapannya bahwa alam raya
(makrokosmos) ini tersusun dari tiga tingkatan, yaitu alam atas atau“banua atas”, alam tengah “banua tengah” dan alam bawah “banua bawah” . Benua atas adalah tempat dewa-dewa yang dipimpin oleh seorang dewa tertinggi yang disebut “Dewata Seuwae” (dewa tunggal), bersemayam di “Botting-Langik” (langit tertinggi). Benua tengah
adalah bumi ini dihuni pula oleh wakil-wakil dewa tertinggi yang
mengatur hubungan manusia dengan dewa tertinggi serta menggawasi
jalannya tata tertib kosmos. Benua bawah disebut “Uriliyu”
(tempat yang paling dalam) dianggap berada di bawah air. Semua
pranata-pranata yang berkaitan dengan pembuatan atau pembangunan rumah
harus berdasarkan kosmologis yang diungkap dalam bentuk makna
simbolis-filosofis, yang diketahuinya secara turun-temurun dari generasi
kegenerasi.
Menurut
Mangunwijaya (1992:95-96), bahwa bagi orang-orang dahulu, tata wilayah
dan tata bangunan alias arsitektur tidak diarahkan pertama kali demi
penikmatan rasa estetika bangunan, tetapi terutama demi kelangsungan
hidup secara kosmis. Artinya selaku bagian integral dari seluruh
“kosmos” atau “semesta raya” yang keramat dan gaib.
Beberapa
hal yang penting diketahui bahwa dalam proses mendirikan rumah pada
masyarakat tradisional Bugis-Makassar, mereka selalu meminta
pertimbangan dari “Panrita Bola” atau Panre bola untuk pencarian tempat, menunjukkan arah yang dianggap cocok dan baik.Panre Bola menguasai ilmu pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah; dimulai dari pemilihan jenis kayu, menghitung berapa tiang(aliri), berapa pasak (pattolo)
yang akan dipakai, Termasuk pengerjaan elemen-elemen atau ornamen
bangunan rumah hingga akhirnya merekostruksi rumah yang diinginkan serta
perlengkapannya. Dalam hal ini peranan seorang Panrita Bola
sangat menentukan melalui nasehat-nasehat mereka yang akan menjadi
pegangan bagi penghuni rumah; kepercayaan tentang adanya pengaruh
kosmologis sudah sangat dimaklumi masyarakat Bugis-Makassar.
Beberapa
wasiat yang menjadi perhatian dalam hal menentukan arah rumah pada
masyarakat tradisional Bugis-Makassar misalnya: sebaiknya menghadap
kearah terbitnya matahari, menghadap kedataran tinggi, atau menghadap ke
salah satu arah mata angin.
Selain
itu salah satu faktor pertimbangan lain yang selalu diperhitungkan
adalah pemilihan waktu saat mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan
yang baik, biasanya ditentukan atas bantuan orang-orang yang memiliki
kepandaian dalam hal memilih waktu.
Untuk
pendirian rumah, biasanya didahului oleh serangkaian upacara-ritual.
Pada tahap selanjutnya secara berurutan mulailah mendirikan rumah dengan
mengerjakan pemancangan tiang pusat rumah yang disebut ”posi’bola” terlebih dahulu, menyusul pemasangan tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan selesai dikerjakan secara keseluruhan.
Seperti
kebanyakan rumah tradisional di indonesia, rumah Bugis Makassar juga
dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya. Rumah tradisional
Bugis-Makassar pada dasarnya terwujud dalam beberapa macam yaitu :
- Rumah Kaum Bangsawan “Arung” atau “Karaeng”.
Untuk rumah bangsawan “Arung” atau “Karaeng” yang memegang jabatan, pada puncak rumah induk terdiri dari tiga atau lebihsambulayang /timpalaja.
Tiang kesamping dan kebelakang berjumlah 5 hingga 6 batang, sedang
untuk bangsawan biasa jumlah tiang kesamping dan kebelakang 4 hingga 5
tiang.
- Rumah Orang Kebanyakan “Tosama”,
Untuk rumah “Tosama” atau orang kebanyakan/masyarakat umum terdiri dari 4 buah tiang kesamping dan kebelakang, puncaksambulayang/timpalaja hanya dua susun.
- Rumah Hamba sahaya “Ata” atau “Suro”,
Bentuk rumah “Ata” atau “Suro”- hamba sahaya berukuran yang lebih kecil, biasanya hanya terdiri dari tiga petak, dengan sambulayang/ timpalaja yang polos.
Pada
umumnya rumah tradisional Bugis-Makassar berbentuk panggung dengan
penyangga dari tiang yang secara vertikal terdiri atas tiga bagian yaitu
:
- Rakkeang / Pammakkang,
terletak pada bagian atas. Disini melekat plafond tempat atap bertumpu
dan menaungi, juga berfungsi sebagai gudang penyimpanan padi sebagai
lambang kehidupan/kesejahteraan pemiliknya. Selain itu dimanfaatkan
menjadi tempat penyimpanan atribut adat kebesaran.
- Ale bola / kale balla, terletak pada bagian tengah. Dibagian
ini ada sebuah tiang yang lebih ditonjolkan diantara tiang tiang
lainnya. Ruangannya terbagi atas beberapa petak dengan masing – masing
fungsinya. Biasanya ruang ini menjadi tempat pusat aktivitas interaksi
penghuni rumah.
- Awaso / siring,
terletak pada bagian bawah rumah. Bagian ini dimanfaatkan sebagai
tempat penyimpanan alat cocok tanam, alat bertukang, pengandangan
ternak, dan lain lain.
Sedang secara horisontal ruangan dalam rumah terbagi atas tiga bagian yaitu :
- “Lontang ri saliweng/padaserang dallekang”, letaknya diruang bahagian depan.
- “Lontang ri tengnga/padaserang tangnga”, terletak diruang bahagian tengah.
- “Lontang ri laleng / padaserang riboko”, terletak diruang bahagian belakang.
Selain ruang ruang tersebut, masih ada lagi tambahan dibagian belakang “Annasuang” atau “Appalluang”- ruang dapur, dan ruang samping yang memanjang pada bagian samping yang disebut “tamping”, serta ruang kecil di depan rumah yang disebut “lego-lego” atau “paladang”- tempat berbincang atau bercengkerama.
Sebagaimana
diketahui dalam konsep arsitektur tradisional Bugis- Makassar,
memandang kosmos terbagi atas tiga bagian, maka secara struktural rumah
tradisional Bugis Makassar terbagi atas :
Struktur bagian bawah, Berdirinya tiang ditunjang oleh beberapa konstruksi sambungan yang disebut: “Pattoddo” (Makassar), “Pattolo”(Bugis),
berfungsi untuk menghubungkan/menyambung antara tiang satu dengan tiang
yang lainnya dengan arah melebar rumah. Bahan biasanya dari kayu jati,
batang kelapa, dan lain-lain. “Palangga”(Makassar), “Arateng”
(Bugis), terbuat dari balok pipih yang panjangnya lebih sedikit dari
panjang rumah. Bahan yang digunakan dari bahan batang kelapa, lontar,
bambu dan lain-lain. Fungsinya yaitu: Penahan berdirinya tiang-tiang
rumah, dan Sebagai dasar tempat meletakkan pallangga caddi/tunabbe
sebagai dasar tumpuan lantai. Pada rumah bangsawan jumlahnya biasanya 5
hingga 6 batang (sesuai petak rumah),untuk rakyat biasa 4 batang.
Pondasi/ “Umpak”, tempat meletakkan tiang agar tidak bersentuhan langsung dengan tanah.
- Lantai, berdasarkan status penghuninya maka lantai rumah tradisional terdiri dari ; Untuk golongan bangsawan “Arung”,lantai rumah biasanya tidak rata karena adanya “tamping” yang berfungsi sebagai sirkulasi, bahan lantai dari papan. Sedangkan untuk golongan rakyat biasa “Tosama” umumnya rata tanpa tamping. Golongan hamba sahaja “Ata” umumnya dari bambu.
- Dinding untuk bahan penutup digunakan gamacca, papan, dengan sistem konstruksi ikat dan jepit. Konstruksi balok anak,merupakan penahan lantai, dan bertumpu pada balok pallangga lompo/arateng. Jumlahnya ganjil dengan jarak rata-rata 20 hingga 50 cm.
Struktur
dan konstruksi bagian atas rumah terdiri dari konstruksi kap/atap yang
merupakan suatu kesatuan yang kokoh dan stabil untuk menahan gaya.
Komponennya terdiri atas : Balok makelar “soddu” atau “suddu”.
Terletak ditengah antara balok pengerat dan balok skor, berfungsi
sebagai tempat kedudukan balok bubungan dan kaki kuda-kuda. Sistem
konstruksinya dengan sistem ikat/takik pen, dengan ketinggian
disesuaikan dengan status penghuninya. “Arung” = ½ lebar rumah + 1 siku + 1 jengkal telunjuk + 3 jari pemilik, Golongan “Tosama” = ½ lebar rumah + 1 telapak tangan, Golongan “Ata” = ½ lebar rumah + 1 siku + tinggi kepala + kepalan tangan pemilik.
Kaki Kuda – kuda “Pasolle”.
Berfungsi sebagai tempat kedudukan balok-balok gording dan sebagai
penahan bidang atap sistem konstruksinya menggunakan sistem ikat, takik,
dan paku pen. Balok pasolla berbentuk pipih ± 3/12 cm. Balok bangunan “Coppo”, berfungsi sebagai tempat bertumpunya balok “suddu”,
kaso, dan bahan atap. Sistem konstruksinya, balok bubungan diletakkan
diatas balok makelar yang ditakik kemudian diperkuat dengan paku pen,
dimensi balok ± 4/12 cm.
Balok pengerat “Pattoddo riase” atau “Pannoddo”,
adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dari tiap baris arah
lebar rumah. Panjangnya lebih sedikit dari lebar rumah, dimensi 4 x 12,5
x 14, atau 6 x 15 cm. Sistem konstruksinya, bila tiang dari bahan bambu
maka tiang dan balok pengerat ditakik ± 1/3 dari diameter, kemudian
diikat. Bila segi empat, tiang dilubangi setebal penampang balok
pengerat kemudian padongko di tusuk pada setiap lubang dari tiang. Bahan
biasanya batang lontar, kelapa, jati, dan lain-lain. Balok blander “Bare” atau “Panjakkala”,
adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dalam arah memanjang.
Fungsinya adalah sebagai ring balok, pendukung kaso, tempat memasang timpalaja dan tempat meletakkan balok rakkeang. Sistem konstruksinya biasanya menggunakan pen, ikat, dan diperkuat dengan pasak. “Barakapu”, sebagai tempat memakukan / mengikat papan lantai “Rakkeang” atau “Pammakkang”.
Rakkeang/Pammakkang, sebagai tempat penyimpan barang dan lain-lain, bahannya dapat berupa bambu atau papan. Sistem konstruksinya, jepit dan ikat.
“Sambulayang” atau “Timpalaja”,
merupakan bagian konstruksi atas yang berupa bidang segitiga dan dibuat
berlapis. Sistem konstruksinya, rangka utama berpegang, bertumpu pada
balok nok, pada kedua ujung bagian bawah terletak pada balok “Pattikkeng”.
Les plank “Ciring”,
berupa papan yang dipasang pada ujung sisi depan dan belakang atap.
Fungsinya sebagai penahan angin yang berpegang pada balok gording dengan
sistem sambungan pen dan lubang, ujungnya kadang diberi hiasan “Ornamen”. Atap, bahan dari nipa, rumbia, alang alang, atau daun lontar. Bentuk pelana dengan sudut antara 30 hingga 40°.
Ragam Hias dan Ornamen
Ragam hias “Ornamen”
pada rumah tradisional Bugis-Makassar merupakan salah satu bagian
tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis-Makassar.
Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol
status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang
bersumber dari corak alam, flora dan fauna.
Ornamen corak alam; Umumnya bermotifkan kaligrafi dari kebudayaan islam.
Ornamen flora corak tumbuhan , Umumnya
bermotifkan bunga/ kembang, daun yang memiliki arti rejeki yang tidak
putus putusnya, seperti menjalarnya bunga itu, disamping motif yang
lainnya.
Ornamen fauna corak binatang, Umumnya
bentuk yang sering ditemukan adalah : Kepala kerbau yang disimbolkan
sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status
sosial. Bentuk naga yang diartikan simbol wanita yang sifatnya lemah
lembut, kekuatan yang dahsyat. Bentuk ayam jantan yang diartikan sebagai
keuletan dan keberanian, agar kehidupan dalam rumah senantiasa dalam
keadaan baik dan membawa keberuntungan.
Penempatan ragam hias ornamen tersebut utamanya padasambulayang/timpalaja, jendela, anjong, dan lain-lain. Penggunaan ragam hias tersebut menandakan bahwa derajat penghuninya tinggi.
Sumber : http://wahyudi-mustamin.blogspot.com
ichankjuradi(c)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar