RUMAH ADAT BUGIS
Rumah panggung bugis-Makassar |
Rumah adat Karaeng Labakkang di Pangkep |
Rumah khas Bugis Makassar untuk To Sama (Orang
Kebanyakan) di Sulsel.
|
Rumah Tradisional Bugis Makassar yang sudah ditambahkan dinding bata pada kolong rumahnya. |
Rumah Tradisional bangsawan tinggi di Wajo. |
A. Pengantar
Rumah Adat Bugis Makassar adalah rumah panggung kayu.
Menurut Robinson (1993), Rumah Panggung kayu mewakili sebuah tradisi yang
bertahan lama, tradisi yang juga tersebar luas di dunia Melayu. Bentuk dasar
rumah adalah sebuah kerangka kayu dimana tiang menahan lantai dan atap dari
berbagai bahan. Keanekaragaman bahan kian meningkat dalam dunia kontemporer
setelah pendirian rumah menjadi kian dikomoditikan. Keunikan Rumah Bugis dibanding
rumah panggung Sumatera dan Kalimantan adalah bentuknya yang memanjang ke
belakang dengan tambahan disamping bangunan utama dan bagian depan (orang bugis
menyebutnya lego – lego, makassar : dego - dego).
Rumah adat Bugis mencerminkan sebuah estetika tersendiri
yang menjadikannya obyek budaya materil yang indah. Bagian – bagian utama rumah
terdiri dari Tiang utama (alliri), terdiri dari 4 batang setiap barisnya.
Jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat, tetapi pada umumnya,
terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri,
Padongko, yaitu bagian rumah yang menjadi penyambung dari alliri di setiap
barisnya, serta Pattoppo, yaitu bagian rumah yang menjadi pengait paling atas
dari alliri paling tengah tiap barisnya.
Rumah Panggung kayu khas Bugis Makassar mengacu pada
anutan kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas
(botting langi), bagian tengah (alang tengnga / ale kawa) dan bagian bawah (
awa sao / peretiwi / bori liu). Itulah sebabnya rumah tradisional Bugis
Makassar juga terdiri atas tiga bagian, yaitu Rakkeang, bagian atap
rumah. Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen. Yang
kedua, Ale Bola, yaitu bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola
ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ), dan Awa bola,
yaitu bagian bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.
Rumah dengan arsitektur berkolong rumah bagi banyak
orang Bugis Makassar dipandang sangat aman dan nyaman, selain itu karena
berbahan dasar kayu rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun.
Semuanya murni menggunakan kayu. Uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat
/ dipindah. Bentuk rumah orang Bugis Makassar haruslah persegi empat. Ini
berhubungan dengan falsafah hidup Sulapa EppaE (atau Persegi empat).
Selain menganut konsep tentang alam / kepercayaan
tentang pusat dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah maka pada rumahpun ada
pusat rumah yang disebut possi bola, yaitu salah satu tiang yang kedua dari
depan dan terletak disamping kanan. Itu pula sebabnya mengapa pada upacara adat
menre baruga (menre bola), sesajen - sesajen seringkali diletakkan di “possi
bola” karena disitulah roh-roh (atau makhluk gaib) dianggap berkumpul, terutama
jika ada kejadian dan peristiwa khusus dalam keluarga.
Terkait arah rumah, boleh saja memilih salah satu
diantara empat penjuru mata angin. Tetapi setelah pengaruh Islam masuk maka
timbullah anggapan baru, bahwa arah rumah yang paling baik ialah menghadap ke
Timur yang berarti tampingnya berada di sebelah utara. Rumah yang menghadap ke
selatan berarti tampingnya berada di sebelah timur. Karena ada ketentuan di
kalangan masyarakat bahwa tidur di rumah itu, kepala harus ke bagian kanan
rumah dan kaki mesti ke arah tamping (bagian kiri) dan tidak boleh ke arah
Ka’bah (kiblat shalat). Dengan kata lain tidak boleh ke arah barat karena
Ka’bah berada di sebelah barat.
B. Kepercayaan dan Simbol – simbol tentang Rumah
Pada zaman dahulu, orang Bugis – Makassar memiliki
kepercayaan bahwa letak rumah tempat tinggal diusahakan supaya berdekatan
dengan tempat tinggal bekerja (sawah, ladang atau pantai) atau dekat dengan
rumah famili / kerabat. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya Kampung
Pallaonruma dan Kampung Pakkaja, tetapi sekarang sudah tidak menjadi syarat
lagi. Ciri yang menonjol pada sebagian besar orang Bugis Makassar adalah bahwa
mereka selalu akan menetap dan menjadi penduduk asli di suatu tempat dimana
mereka menggantungkan hidupnya. Mereka akan membangun disitu dan akan mati
disitu pula. Hal ini sangat berhubungan dengan mata pencaharian mereka, seperti
seorang petani akan bermukim atau membangun rumahnya dekat dengan lahan atau
kawasan pertanian mereka. Petambak akan cenderung membangun rumahnya pada suatu
lokasi yang tidak terlalu jauh dari kawasan empangnya.
Ruang dan simbolisme yang terlihat pada rumah
tradisional merupakan fokus spiritual dan fisik bagi penghuninya, dengan
asosiasi metafisik yang mencari vitalitas, perlindungan dan harmoni.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Bourdieu, ‘ruang hunian’, terutama rumah, merupakan
alat prinsipil dalam mengartikulasikan dan memahami struktur sosial. Pembagian
ruang pada rumah menjadi sebuah ‘sistem klasifikasi nyata (yang) terus menerus
melahirkan dan mendorong prinsip – prinsip taksonomi yang mendasari semua
ketentuan budaya yang arbitrer’.
Pada rumah Bugis, sentralitas ditandai oleh aliri
posi, atau tiang pusar, yang menandai sumber sumange’, dan dihormati dalam
ritual, sebagaimana totalitas pusat dan pinggir, dimana setiap sudut rumah
ditandai dengan sesajen dan do’a. Kehadiran roh penjaga pada tiang pusar
juga terdapat dalam La Galigo dimana tiang pusat istana raja kerap menjadi
fokus kegiatan dalam kisah epik tersebut. Tiang ini dihiasi saat ada upacara –
upacara, tarian – tarian disajikan di sekitarnya, dan ketika dilakukan
pelayaran antara Dunia Tengah dan Dunia Atas, muncul pelangi di tiang tersebut
pada saat pelayaran dilakukan, sehingga menghubungkan dunia syurgawi dan dunia
materi. Hingga sekarang, ketika berada di luar rumah, adalah hal lazim bagi
orang – orang untuk mendapatkan perlindungan diri melalui penggunaan jimat –
jimat yang dipakai atau dibawa untuk menghindari malapetaka dan dilepas setelah
memasuki rumah.
Simetri dan keseimbangan dari pengaruh pencarian tatanan
dan harmoni yang terdapat pada sulapa eppa’, dan skema fundamental lainnya yang
dikaitkan terus menerus dan ditegaskan dalam wilayah sosial, politik, dan
spiritual. Motif – motif mungkin muncul secara sadar dari pemahaman akan sulapa
eppa’ dan posisi sosial, seperti halnya timpa laja’ bola (Makassar : timbassila
balla’), jumlah jeluji jendela, motif – motif tertentu pada dinding rumah,
walasuji, dan lain sebagainya. Motif ini mungkin belum menjadi refresentasi
sadar dari konsep – konsep tersebut tetapi merupakan ekspresi dari sebuah
logika kultural yang melingkupinya.
C. Pemilihan Waktu Yang Baik
Waktu penyelenggaraan upacara ini disesuaikan dengan
waktu yang baik menurut ketentuan adat untuk orang Bugis Makassar.
Pemilihan waktu baik sangat penting untuk memastikan hasil positif sebuah
usaha. Bentuk pengetahuan paling umum yang terkandung dalam kutika /
pitika adalah metode – metode penentuan hari – hari baik untuk melakukan suatu
kegiatan, termasuk mendirikan rumah. Dewasa ini, perhatian terhadap hari – hari
dan waktu – waktu baik dan buruk di Sulawesi Selatan digunakan oleh banyak
orang untuk kegiatan – kegiatan rutin seperti memulai perjalanan. Tetapi
terutama digunakan untuk kegiatan – kegiatan penting seperti waktu pernikahan,
atau tahapan dalam mendirikan rumah (Saing, 1982 atau Sunusi, 1969 menerangkan
penggunaannya dalam pembangunan rumah).
Hamid (1994) mengaitkan konsep – konsep hari buruk dan
hari baik dengan kepercayaan animisme, yang ia samakan dengan kepercayaan
terhadap kesatuan manusia dengan hukum alam (sesuatu yang tersebar pada banyak
masyarakat – masyarakat Austronesia) (lihat juga Waterson, 1993 ; Pigeaud,
1983). Manuskrip umumnya berisi daftar – daftar bulan dalam kalender Islam,
dengan keterangan – keterangan apakah waktu – waktu tersebut baik untuk
kegiatan – kegiatan tertentu, pendirian rumah dan pernikahan seringkali
dihubungkan (yaitu, bulan baik untuk pernikahan biasanya juga baik untuk
mendirikan rumah).
Manuskrip – manuskrip memberikan keterangan yang sama
tentang bulan – bulan yang baik dan buruk, namun berbeda dalam meramalkan hasil
atau akibat bagi sang empunya rumah, jika kegiatan itu diadakan para periode
tersebut.
- Bulan Muharram bukan waktu baik untuk mendirikan rumah atau
menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu menderita.
- Bulan Safar bulan bagus untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan
perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu memperoleh keberuntungan.
- Rabi’ul – awal tidak baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan
perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu tertimpa musibah kematian.
- Rabi’ul akhir baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan
perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu memperoleh kebahagiaan.
- Jumadil awal baik untuk mendirikan rumah ; Sang empunya rumah akan selalu
memperoleh keberuntungan.
- Jumadil akhir tidak baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan
perkawinan. Sang empunya rumah akan sakit – sakitan dan dilanda kesulitan –
kesulitan lainnya.
- Rajab bukan bulan baik untuk mendirikan rumah. Sang empunya rumah akan
mati tertikam dan rumahnya akan terbakar.
- Sya’ban baik untuk mendirikan rumah dan menikah. Sang empunya rumah akan
selalu memiliki kekayaan.
- Ramadhan baik untuk mendirikan rumah, juga menyelenggarakan perkawinan.
Penghuni rumah akan selalu akrab dengan tetangganya dan akan memperoleh
kebahagiaan.
- Syawal tidak baik untuk mendirikan rumah dan menyelenggarakan perkawinan.
Sang empunya rumah akan tertikam dan rumahnya tidak akan pernah sempurna.
- Zulqa’idah baik untuk mendirikan rumah dan menyelenggarakan perkawinan.
Sang empunya rumah akan selalu memiliki hubungan yang baik dengan tetangga –
tetangganya.
- Zulhijjah baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan perkawinan.
Sang empunya rumah akan memperoleh ketenteraman. Mereka akan memperoleh banyak
emas.
D. Upacara Adat Menre Bola
Jalannya Upacara naik rumah baru ini dilaksanakan pada
hari yang telah ditetapkan tuan rumah untuk naik ke rumah baru. Upacara ini
dipimpin oleh panrita bola atau sanro bola. Penyelenggaraan upacara diselenggarakan
oleh tuan rumah yang dibantu oleh orang tua dari kedua belah pihak (suami
isteri). Peserta Upacara terdiri atas suami isteri, keluarga tuan rumah,
tukang dengan kepala tukang (tetapi biasanya panitia itu juga mengepalai
tukang yang bekerja), dengan seluruh tenaga pembantunya serta tetangga –
tetangga dalam kampung itu.
Tahap
Upacara Makkarawa Bola.
Makkarawa Bola artinya memegang, mengerjakan, atau
membuat peralatan rumah yang telah direncanakan untuk didirikan dengan maksud
untuk memohon restu kepada Tuhan agar diberikan perlindungan dan keselamatan
dalam penyelesaian rumah yang akan dibangun tersebut. Tempat dan waktu
upacara ini diadakan di tempat dimana bahan – bahan itu dikerjakan oleh Panre
(tukang) karena bahan – bahan itu juga turut dimintakan doa restu kepada Tuhan.
Waktu penyelenggaraan upacara ini ialah pada waktu yang baik dengan petunjuk
panrita bola, yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin upacara.
Bahan – bahan upacara yang harus dipersiapkan terdiri
atas : ayam dua ekor, dimana ayam ini harus dipotong karena darahnya diperlukan
untuk pelaksanaan upacara kemudian tempurung kelapa daun waru sekurang –
kurangnya tiga lembar. Tahap pelaksanaan upacara makkarawa bola ini
ada tiga, yaitu 1. waktu memulai melicinkan tiang dan peralatannya disebut
makkattang, 2. waktu mengukur dan melobangi tiang dan peralatannya yang disebut
mappa, 3. waktu memasang kerangka disebut mappatama areteng.
Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir,
maka ayam yang telah disediakan itu dipotong lalu darahnya disimpan dalam
tempurung kelapa yang dilapisi dengan daun waru, sesudah itu darah ayam itu
disapukan pada bahan yang akan dikerjakan. Dimulai pada tiang pusat, disertai
dengan niat agar selama rumah itu dikerjakan tuan rumah dan tukangnya dalam
keadaan sehat dan baik – baik, bila saat bekerja akan terjadi bahaya atau
kesusahan, maka cukuplah ayam itu sebagai gantinya. Selama pembuatan peralatan
rumah itu berlangsung dihidangkan Kue - kue tradisional seperti : Suwella,
Sanggara, Onde-Onde, Roko - roko unti, Peca’ Beppa, Barongko dan Beppa loka,
dan lain – lainnya.
Tahap
Upacara Mappatettong Bola (Mendirikan Rumah).
Tujuan upacara ini sebagai permohonan doa restu kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa agar rumah yang didirikan itu diberkahi dan dilindungi
dari pengaruh-pengaruh roh jahat yang mungkin akan menganggu penghuninya.
Upacara ini diadakan di tempat atau lokasi dimana rumah itu didirikan, sebagai
bentuk penyampaian kepada roh-roh halus penjaga – penjaga tempat itu bahwa
orang yang pernah memohon izin pada waktu yang lalu sekarang sudah datang dan
mendirikan rumahnya. Sehari menjelang dirikan pembangunan rumah baru itu, maka
pada malam harinya dilakukan pembacaan kitab barzanji.
Adapun bahan – bahan dan alat – alat kelengkapan
upacara itu terdiri tas : ayam ’bakka’ dua ekor, satu jantan dan satu betina.
Darah kedua ayam ini diambil untuk disapukan dan disimpan pada tiang pusat
rumah, ini mengandung harapan agar tuan rumah berkembang terus baik harta
maupun keturunannya. Selain itu, Bahan – bahan yang ditanam pada tempat possi
bola dan aliri pakka yang akan didirikan ini terdiri atas : awali (periuk tanah
atau tembikar), sung appe (sudut tikar dari daun lontar), balu mabbulu (bakul
yang baru selesai dianyam), penno-penno (semacam tumbuh-tumbuhan berumbi
seperti bawang), kaluku (kelapa), Golla Cella (gula merah), Aju cenning (kayu
manis), dan buah pala. Kesemua bahan tersebut diatas dikumpul bersama – sama
dalam kuali lalu ditanam di tempat dimana direncanakan akan didirikan aliri
possi bola itu dengan harapan agar pemilik rumah bisa hidup bahagia, aman,
tenteram, dan serba cukup.
Setelah tiang berdiri seluruhnya, maka disediakan pula
sejumlah bahan – bahan yang akan disimpan di possi bola seperti kain kaci (kain
putih) 1 m, diikatkan pada possi bola, padi dua ikat, golla cella, kaluku
(kelapa), saji pattapi (nyiru), sanru (sendok sayur), piso (pisau), pakkeri
(kukur kelapa). Bahan – bahan ini disimpan diatas disimpan dalam sebuah balai –
balai di dekat possi bola. Bahan ini semua mengandung nilai harapan agar
kehidupan dalam rumah itu serba lengkap dan serba cukup. Setelah kesemuanya itu
sudah dilaksanakan, barulah tiba saat Mappanre Aliri, memberi makan orang
– orang yang bekerja mendirikan tiang – tiang rumah itu. Makanan yangf
disajikan terdiri atas sokko (ketan), dan pallise, yang mengandung
harapan agar hidup dalam rumah baru tersebut dapat senantiasa dalam
keadaan cukup. Tahap Upacara Menre Bola Baru (Naik Rumah Baru)
Tujuannya sebagai pemberitahuan tuan rumah kepada sanak keluarga dan tetangga
sedesa bahwa rumahnya elah selesai dibangun, selain sebagai upacara doa
selamat agar rumah baru itu diberi berkah oleh Tuhan dan dilindungi
dari segala macam bencana. Perlengkapan upacara yang disiapkan adalah dua ekor
ayam putih jantan dan betina, loka (utti) manurung, loka / otti (pisang)
panasa, kaluku (kelapa), golla cella (gula merah), tebbu (tebu), panreng
(nenas) yang sudah tua. Sebelum tuan rumah (suami isteri) naik ke rumah secara
resmi, maka terlebih dahulu bahan bahan tersebut diatas disimpan di
tempatnya masing – masing, yaitu : (1) Loka manurung, kaluku, golla cella,
tebu, panreng dan panasa di tiang possi bola. (2) Loka manurung disimpan di
masing – masing tiang sudut rumah.
Tuan rumah masing – masing membawa seekor ayam putih.
Suami membawa ayam betina dan isteri membawa ayam jantan dengan dibimbing oleh
seorang sanro bola atau orang tertua dari keluarga yang ahli tentang adat
berkaitan dengan rumah. Sesampainya diatas rumah kedua ekor ayam itu
dilepaskan, sebelum sampai setahun umur rumah itu, maka ayam tersebut belum
boleh disembelih, karena dianggap sebagai penjaga rumah. Setelah peserta
upacara hadir diatas rumah maka disuguhkanlah makanan – makanan / kue – kue
seperti suwella, jompo – jompo, curu maddingki, lana – lana (bedda), konde –
konde (umba – umba), sara semmu, doko – doko, lame – lame. Pada malam harinya
diadakanlah pembacaan Kitab Barzanji oleh Imam Kampung, setelah tamu pada malam
itu pulang semua, tuan rumah tidur di ruang depan. Besok malamnya barulah boleh
pindah ke ruang tengah tempat yang memang disediakan untuknya.
Tahap
Upacara Maccera Bola.
Setelah rumah itu berumur satu tahun maka diadakanlah
lagi upacara yang disebut maccera bola. “Maccera Bola” artinya memberi darah
kepada rumah itu dan merayakannya. Jadi sama dengan ulang tahun. Darah yang
dipakai maccera ialah darah ayam yang sengaja dipotong untuk itu, pada waktu
menyapukan darah pada tiang rumah dibacakan mantra, “Iyyapa uitta dara narekko
dara manu”, artinya nantinya melihat darah bila itu darah ayam. Ini maksudnya
agar rumah terhindar dari bahaya. Pelaku maccera bola ialah sanro (dukun) bola
atau tukang rumah itu sendiri.
Dapur Orang Bugis Makasar
Istilah dapur (tradisional) disini mencakup pengertian
dapur sebagai ruang /bangunan, tempat menyimpan peralatan masak dan tempat
berlangsungnya kegiatan makan minum. Eksistensi dapur ini timbul bersamaan
dengan diketemukannya api oleh manusia. Dapur bagi orang Bugis-Makassar sangat
dekat dengan proses dan eksistensi keluarga. Keluarga yang masih “hidup” dapat
ditengarai dengan dapur yang masih berasap. Sebaliknya sebuah dapur yang sudah
tidak berasap lagi menandakan bahwa keluarga pemilik dapur sudah mati.
Dapur tradisional Bugis-Makasar pada umumnya berbentuk
segi empat, mengikuti filsafat orang Sulawesi Selatan yang disebut “Sulapa
Eppa” yang artinya “Yang dianggap paling sempurna adalah yang bersegi empat”.
Bentuk formasi bangunan untuk perletakan tungku ada yang terbuat dari kayu dan
ada pula yang diletakkan diatas lantai rumah secara berdampingan. Bangunan dapur
tradisional Bugis-Makasar ada yang bertingkat dua. Lantai atas digunakan untuk
tempat menyimpan dan mengeringkan kayu bakar atau menyimpan peralatan dapur.
Lantai bawah digunakan untuk memasak. Tungku masak yang digunakan kebanyakan
masih menggunakan tiga batu yang diatur diatas lantai yang sudah diberi pasir
atau tanah. Dalam satu dapur bisa berderet dua sampai tiga buah tungku. Bila
masih memerlukan tungku lagi, dibuatlah tungku yang terpisah dengan dapur yang
disebut dapo (Bugis) atau palu (Makasar) yang mudah dipindah-pindahkan.
Di beberapa daerah di Sulawesi bagian Selatan, palu
yang mempunyai bentuk seperti perahu dengan tiga tatakan sangat dominan
dipakai. Sedangkan untuk wilayah utara cukup bervariasi, diantaranya : formasi
tiga batu, bentuk silinder, dua besi panjang sejajar, dan lain sebagainya.
Dalam perkembangan selanjutnya, dapur tersebut bergeser ke ruang belakang dan
dibuatkan bangunan tambahan khusus dibagian belakang atau bagian sebelah kiri
bangunan induk. Bangunan khusus untuk dapur ini disebut Jongke atau Bola
Dapureng. Jongke ini merupakan tempat pelaksanaan kegiatan penyediaan makanan
dan minuman keluarga atau tamu, serta tempat untuk menyimpan makanan dan
peralatan masak.
Dapur orang Bugis-Makasar [sesuai dengan pengetahuan
lokal para nenek moyang mereka] diusahakan menghadap Utara atau Selatan. Jika
dapur menghadap utara maka orang yang memasak akan menghadap ke Selatan, begitu
pula sebaliknya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari asap dapur yang sangat
dipengaruhi oleh angin musim yang bertiup dari arah barat atau timur. Hal ini
masih dipengaruhi lagi oleh letak dan posisi dapur terhadap keadaan lingkungan
sekitarnya, seperti daerah perbukitan/ pegunungan. Hal lain yang kurang
diperhatikan adalah sistem ventilasi dapur, sehingga kondisi udara di dapur
tidak sehat.
Pada umumnya peralatan dapur tradisional orang
Bugis-Makasar dapat diklasifikasikan menurut jenis material peralatan tersebut
:
a. Terbuat
dari tanah liat: dapo/pallu (anglo), Oring tana/Uring buta (periuk),
bempa/gumbang (tempayan), dan lain – lain.
b.
Terbuat dari logam yaitu: oring beddi/uring bassi (periuk), panci, ceret,
pammutu bessi/pamja besi (wajan) piso/ lading (pisau), bangkung / berang
parang), baki.
c. Terbuat
dari bambu: pabberang api (peniup api), paccipi (penjepit), pattapi (niru),
rakki (tempat mengeringkan bahan makanan), jamba (tempat nasi dari anyaman
bambu).
d.
Terbuat dari kayu: dulang (tempat nasi), piring kayu.
e.
Terbuat dari tempurung kelapa: kaddaro innungeng/inungang (gelas tempurung),
sinru kaddaro/si’ru kaddaro (sendok tempurung), piring kaddaro.
f.
Terbuat dari anyaman: assokkoreng (kukusan), baku-baku (bakul nasi),
appanatireng santang(tapisan santan), paberesse/pa’berassang (tempat beras).
g.
Terbuat dari batu: pakungeng batu (lesu batu), accobereng/accebekang (cobek)
Fungsi dan Pandangan terhadap Dapur
Fungsi dapur juga mengalami perkembangan mengikuti
budaya dan masyarakat. Fungsi dapur sekarang dapat disebutkan sebagai berikut
:a. Tempat untuk kegiatan penyediaan dan pengolahan makanan dan minuman
untuk keluarga dan tamu. Disini perempuan memegang otoritas penuh atas ruang
dan waktu.b. Tempat menyimpan peralatan dan persediaan makanan dan
minuman.c. Tempat cuci dan pembuangand. Tempat untuk sosialisasi
awal bagi anak perempuan memasuki dunia perempuan serta mempererat hubungan
kekerabatan dengan anggota keluarga lain atau tetanggae. Tempat usaha :
membuat kue, makanan dan minuman.
Sejalan dengan fungsi-fungsi dapur tersebut, tumbuh
nilai-nilai atau norma yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat setempat.
Misalnya, untuk menerima tamu (bukan famili), tidak melewati batas ruang tamu,
apalagi masuk ruang dapur. Karena dapur merupakan rahasia keluarga / kehidupan
rumah tangga, sehingga ruang dapur dibatasi hanya untuk kerabat dekat saja.
Pemanfaatan dapur sebagai salah satu bagian rumah juga membawa nilai - nilai
atau norma - norma yang harus ditaati. Oleh karena itu ada beberapa perilaku
yang tidak boleh dilanggar karena dapat membawa bencana bagi siapa saja yang
melanggarnya.
Beberapa
pantangan tersebut adalah :
a. Tidak
boleh menginjak dapur (tungku), barang siapa menginjak tungku dia akan bersifat
seperti kucing (dalam masalah seksual), artinya, orang yang suka menginjak dapur
akan suka melanggar norma / nilai di bidang seks.
b. Anak
gadis tidak boleh menyanyi di depan dapur. Jika dilanggar dia akan bersuamikan
orang tua atau mempunyai anak tiri.
c. Pada
saat seorang nelayan turun ke laut, api dapur tidak boleh padam. Hal ini
dimaksudkan agar nelayan/suami tersebut selamat pergi dan pulang dari melaut.
d. Pada
musim pengolahan tanah, istri petani tidak boleh memberi api dapurnya kepada
dapur tetangganya. Hal ini dilarang karena akan mengakibatkan padinya habis
dimakan ulat / tikus.
e. Laki
- laki tidak boleh bekerja di dapur karena menurunkan derajat laki-laki.
f. Laki
- laki (suami) tidak boleh memegang Alat - alat masak. Hal ini menandakan suami
tidak percaya kepada istrinya.
g. Tidak boleh
memukul anak-anak dengan alat-alat masak seperti sendok dan sebagainya, hal ini
menyebabkan anak tersebut menjadi bodoh.
Lambat laun ritual Pemahaman tentang Rumah Adat Bugis
Makassar ini telah terkikis, Begitupun Upacara Adat Menre Bola (Makassar : Nai’
Balla) ini sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya karena sudah
kurang yang memahami esensi dan tata cara pelaksanaannya, Begitu pula pemahaman
tentang Dapur dengan segala etika yang harus ada didalamnya sudah terlupakan.
Saat ini yang banyak kita saksikan apabila ada pembangunan
rumah adat (rumah kayu) atau rumah modern (rumah batu), masyarakat
melaksanakannya cukup dengan acara syukuran saja dengan mengundang berbagai
kerabat dan handai taulan. Meski begitu, semoga tulisan ini bermanfaat, paling
tidak mengingatkan budaya dan tradisi yang hilang atau terlupakan itu. (*)
ichankjuradi(c)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar