Awal Peradaban Kerajaan Luwu
(Sebuah Tinjauan Linguistik Diakronik)
Oleh Ashari Thamrin
Gambar1. Peta Kerajaan Luwu Periode 6 Raja (Generasi) Pertama atau Periode Galigo
ABSTRAK
Dari sumber sejarah, tinjauan kebahasaan, dan Epos Lagaligo,
diketahui bahwa Peradaban Luwu muncul dari Salu Pongko yakni di wilayah
Wotu antara 3.000 hingga 2.000 tahun silam. Diduga, Wotu dahulu kala
pernah didiami suku tertua yang bernamaTo Pongko, namun nama suku ini
tidak lagi berhasil diidentifikasi oleh peneliti sejarah maupun sumber
sejarah (penutur). Dari To Pongko lahir 2 (dua) anak suku, yakni To Liu’
(Lowland) dan To Riu’ (Highland) antara 2.500 hingga 2.000 tahun silam.
Ke-2 nama anak suku ini juga tak dapat diidentifikasi oleh peneliti
sejarah maupun sumber sejarah, tetapi masih dapat diidentifikasi melalui
Epos Lagaligo dengan term (istilah) yang berbeda.
Simpelnya,To Pongko (Wotu) melahirkan 2 (dua) anak suku utama. Suku
pertama adalah sukuTo LIU’ (di kenal dalam Epos Lagaligo dengan nama
Buriq Liu’) yang akhirnyalebih populer disebut dengan To Luwu. Suku ini
berdiaspora dari Wotu ke MuaraSalu’ Pongko (sekarang Salo’ Bongko’) dan
akhirnya membentuk sebuah peradaban Lowland (dataran rendah) di Pesisir
Pantai Malangke, setelah merangkak perlahan melalui Pantai Lemo di
Burau. Suku kedua adalah suku To RIU’ (dalam EposLagaligo dikenal dengan
nama WAWENRIU’ -singkatan dari Wawa INIA Rahampu’u), yang berdiaspora
dari Wotu dan akhirnya berkumpul dan membentuk sebuah peradaban Highland
(dataran tinggi) di sekitar Danau Matano, setelah merangkak perlahan
melalui beberapa sungai, seperti sungai Manurung dan sungai Larona
(keduanya di Luwu Timur sekarang).
Perkawinan Batara Guru (La Toge’ Langi’) dengan We Nyili’ Timo
dianggap sebagai lambang reunifikasi (penyatuan kembali) 2 (dua)
keluarga besar dari suku To RIU(WAWENRIU) dengan suku To LIU (LUWU) yang
berasal dari satu nenek moyang ToPONGKO (Wotu), yang lama terpisah dan
tercerai berai akibat diaspora (penyebaran penduduk/keturunan).
Kelahiran BATARA LATTU dari Perkawinan ini dapat dianggap sebagai simbol
lahirnya kembali (reinkarnasi) nenek moyang mereka ‘ToPONGKO’, sebagai
manusia awal yang pernah mendiami Tana Luwu di Wotu. Karena itulah,
Reunifikasi keluarga ini dikukuhkan dengan dijadikannya Wotu sebagai
Ware’ (Kotaraja) Kerajaan Luwu yang pertama.
PENDAHULUAN
Kerajaan Luwu adalah Kerajaan Tertua di Sulawesi yang amat luas
wilayah kekuasaannya. Peta di bawah judul tulisan ini yang dikutip dari
tulisan ALBERT SCHRAUWERS dalam buku Houses, Hierarchy, Headhunting and
Exchange:Rethinking Political Relations in the Southeast Asian Realm of
Luwu’menggambarkan hal tersebut. Penuturan beberapa orang
masyarakatGorontalo di ujung utara bekas kerajaan ini yang mengakui
bahwa nenek moyang merekaberasal dari Bugis (Luwu), hanya contoh kecil
hegemony kerajaan ini di masa lalu.
Daribeberapa Lontara yang kemudian dijadikan catatan sejarah, juga
diketahui bahwa Silsilahraja-raja di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara
dan Sulawesi Barat bersumberdari Kerajaan Luwu. Hal tersebut diungkap
Andi Zainal Abidin dalam Buku ‘The Emergency of Early Kingdoms in
SouthSulawesi, 1983: halaman 212, sebagai berikut:
“…. No one in South Sulawesi denies theimportance of
Luwu’. According to a popular belief and genealogies of the kingsand
nobility in South Sulawesi, Luwu’ was founded before the formation
ofBugis, Makassar and Mandar kingdoms. Several Lontara’ readers
estimated thatLuwu’ was founded in the thirteenth century, while two
Assistant Commissionersof Bone … estimated, without giving any evidence,
that Luwu’ was foundedabout the twelfth century. According to Couvreur,
the Governor of Celeves(1929), Luwu’ was the most powerful kingdom in
Sulawesi from the tenth to thefourteenth century. This opinion is
supported by the highest respect that thenobility in Luwu’ traditionally
enjoyed. Even petty principalities likeSelayar, Siang, Lamatti’ and
Bulo-Bulo claimed that their first kings had comefrom Luwu’ ….”
Titik awal peradaban dapat diketahuidari buku Republik Indonesia
Propinsi Sulawesi bertarikh tahun 1951. Dalam buku tersebut tertulis
bahwa asal-usul orang Toradja sama saja dengan orang’ Bugis yang
mendiami daerah sekitar Afdeeling Luwu. Kedua suku ini berasal dari
Pulau Pongko sekitar 2000 hingga 3000 tahun silam.
Disebutkan pula bahwa melihat tjatatan tahun kedatangan orang
Toradja itu di daerah tempat kediaman mereka sekarang, dan
memperbandingkan tjatatan tahun turunnja Tomanurung Tamborolangie, jang
kira2 1 a 2000 tahun jang lalu, maka agaknja tidak ada suatu alasan
positief jang menjangkal, bahwa asal turunan orang Toradja itu sama
sadja dengan turunan orang Bugis jang kini mendiami daerah2 sebelah
Utara Luwu. Apalagi menurut tjerita tersebut, bahwa Pongko itu terletak
disebelah Selatan dari daerah jang didiami oleh mereka sekarang.
Djadinja termasuk dalam daerah jang penduduknja terdiri dari orang2
Bugis Luwu.
—————————————————————————————————————-
Meski keterangan di atas lebih ditujukan kepada asal-usul orang
Toraja, namun dengan adanya kata Bugis dan Afdeling Luwu maka sumber ini
tetap relevan untuk dijadikan salah satu rujukan utama. Masalah yang
timbul dari keterangan tersebut adalah kata majemuk ‘PULAU PONGKO’.
Hasil penelusuran Peta Sulawesi Selatan tidak diketahui adanya Pulau
Pongko di sebelah selatan, kecuali Pongkor di Bali atau juga Pongkor di
Sunda. Adapun kata “PONGKO” di Pulau Sulawesi ini tersebar dari Selatan
hingga ke Utara, bahkan sampai ke Filipina Selatan. Kata PONGKO
digunakan untuk menamai gunung, sungai, dan toponim geografis
lainnya,namun tak satupun yang menggunakannya untuk nama Pulau di
sebelah Selatan.Pulau Pongko adanya di sebelah Utara yakni kabupaten
Tojo Una-una.
Pulau terdekat yang ada di Sebelah Selatan Afdeeling Luwu adalah
Pulau Liwukang, sedangkan pulau terjauh adalah Pulau Selayar. Timbul
dugaan bahwa Pulau Liwukang (sekarang; Libukang) dahulu kala bernama
Pulau Pongko. Keterangan yang diperoleh dari masyarakat menyebutkan
bahwa Pulau tersebut sebelumnya memang sekian lama menjadi hunian
manusia, sebelum generasi terakhir dari Pulau tersebut migrasi ke
Penggoli (Palopo). Di Pulau yang mungil ini terdapat kuburan-kuburan tua
To Libukang (orang Libukang).
Dugaan yang sama berlaku untuk Pulau Selayar. Boleh jadi nama Pulau
ini sebelumnya bernama Pongko, kemudian dalam Epos Lagaligo dikenal
dengan nama Silaja. Bahasa orang Selayar pun mirip dengan bahasa Wotu,
suku yang dianggap paling tua diLuwu, atas dasar bahasa yang
digunakannya yang tidak digunakan di tempat lain.Laporan hasil eskavasi
arkeologi pun menempatkan Selayar diurutan lebih tua–secara radio
karbon- dibanding hasil eskavasi arkeologi di Wotu pada khususnya, dan
Luwu pada umumnya.
Keyakinan paling kuat atas masalah ersebut adalah telah terjadi
kesalahan ketik ataupun kesalahantutur dari sumber sejarah. Yang
dimaksud dengan Pulau Pongko dalam keteranganitu adalah SALU’ PONGKO
yang secara geografis berada di Malangke. Salu’ Pongkoartinya Muara
Sungai, jenis tutur bahasa yang menggunakan hukum DM. Jika diubah dalam
Hukum MD menjadi PONGKO SALU, atau PENGKASALU (Bhs. TAE). Keyakinan
inisejalan dengan kutipan dari Blog Anak Bugis Dijemput Di sini, yang
menuliskanbahwa: “… ada satu bahasa yang dipergunakan oleh penduduk satu kampung saja,namanya “bahasa Wotu”, untuk kampung Wotu sendiri…”.
Dalam linguistik diakronik,untuk menentukan suku tertua di suatu
wilayah, atau suku mana yang menjadisumber asal dari suku-suku lain di
sekitarnya, dapat diketahui dari seberapa banyak suatu bahasa dari
sebuah suku dipengaruhi oleh kosa kata bahasa-bahasa lain di sekitarnya.
Semakin sedikit pengaruh, -atau bahkan nol- maka semakintua bahasa suku
tersebut. Wotu begitu dekat dengan Salu Pongko dan sekerabat dengan
Suku To Luwu, salah satu suku tertua di Luwu yang pernah mendiami daerah
Pabbireng, Malangke. Tidak keliru jika kita meyakini bahwa di Wotu
zaman dahulu, hidup sebuah komunitas awal yang bernama ‘To Pongko’, yang
kemudian melahirkan suku To Luwu dan danTo Riu, dan suku-suku tua
lainnya di sekitar wilayah tersebut yang tidak dapat lagi dideteksi oleh
peneliti sejarah, ataupun penutur sejarah.
Kesulitan identifikasi ini terkait anak-anak To Luwu yang menyempal
kejazirah Selatan Teluk Bone hingga membentuk identitas diri sebagai To
Ugi (sukuBugis), kemudian kembali ke kampung leluhur mereka di Luwu
sejak abad ke 15. Akibatarus balik ini, beberapa tempat bersejarah yang
seharusnya dipertahankan namaaslinya, kini berganti nama menyesuaikan
lidah anak suku tersebut. Sebagai contoh, SALU PONGKO (Muara Sungai)
yang dijelaskan di atas sebagai sumber asalperadaban, kini telah berubah
nama menjadi SALO’ BONGKO (Sungai Udang).
PERIODESASI KERAJAAN
Kutipan dari Abidin pada bagian Pendahuluan di atas menempatkan
tarikh Kerajaan Luwu berada pada abad ke 10 hingga ke-14Masehi.
Sementara keterangan-keterangan dalam Epos I Lagaligo yang berceritera
tentang Senrijawa (Sriwijaya), Sunra (Sunda), Bakke (Bangka), Gima
(Bima), Kerajaan-kerajaanBate Salapang di Makassar dan beberapa kerajaan
Nusantara yang sezaman denganitu menempatkan tarikh kerajaan ini berada
pada abad ke-7 hingga abad ke-10 Masehi. Keterangan ini dikuatkan
dengan Laporan Arkeologi David Bullbeck yang dikutip dari Van der Hoop
1941:319, bahwa: “… A wastepiece of cast glass found 60 cm
beneath the soil near Palopo (van der Hoop1941:319) offers some evidence
of advanced pyrotechnology in Luwu by 1000 yearsago. Maksudnya, sekitar
1000 tahun lalu Palopo pernah menjadi sentra industri’pyrotechnology’
atau pencetakan gelas dan kaca.
Keterangan di atas diperkuat pula dengan silsilah raja
Gowa-Makassar versi Inggris yang menenempatkan Sawerigading sebagai raja
ke- 3 yang bertahta pada abad 1000 Masehi. Dua Raja yang mendahului
Sawerigading adalah Batara Guru dan Batara Lattu, merupakan Raja yang
sama yang memimpin Kerajaan Luwu. Berikut Silsilah Raja Gowa menurut
ForumAward Clasical Studies, Britannica Internet Guide Award:
First Dynasty :
# Batara Guru I
# Batara Lettu
# Saweri Gading………………………………..fl. c. 1000 ?
# Letta Pareppa
# Simpuru Siyang
# Anekaji
# Punyangkuli
# La Malolo
Second Dynasty :
# Ratu SapuMarantaiya………………………….fl. c. 1100 ?
# Karaeng Katangka I
# Ka-Karaeng-an Bate Salapang :
1. Karaeng Garassi
2. Karaeng Katengang
3. Karaeng Parigi
4. Karaeng Siang………………………………..fl. c. 1200 ?
5. Karaeng Sidangraye
6. Karaeng Lebangan
7. Karaeng Panaikang
8. Karaeng Madulo
9. Karaeng Jampaga
Silsilah di atas memang masih diperdebatkan. Penyusun silsilah ini
pun tidak menjamin keabsahan tulisannya, sehingga beberapa diantaranya
diberi tanda tanya. Apalagi dalam Lontara Gowa dan Tallo telah tertulis
silsilah raja Gowa Kuno dengan 4 (empat) orang Raja sebelum Bate
Salapang, yakni: (1) Batara Guru; (2) Sariqbattanna tunabunoaTolali; (3)
Ratu Sa(m)pu Mara(n)taiya; (4) Karaeng Katangka. Menurut tafsiran J.
Noorduyn dan kemudian diteruskan oleh AZ. Abidin, Raja kedua dari Gowa
Kunoini adalah Saudara dari Batara Guru. Kemudian dalam Epos Lagaligo,
saat Sawerigading memasuki istana baru di Ware’ beberapa nama kerajaan
yang berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan (sekarang) turut
diundang, seperti Mattoanging, Sawammeqga (Saumata), Kalling, dan Makka
ri Ajang (Makassar sekarang).
Periode Sawerigading yang ditempatkanpada abad ke -10 Masehi ini
terbantahkan oleh tutur masyarakat tentang pertemuan Sawerigading dengan
Nabi Muhammad. Namun ada kesimpulan penting yang dipetikdari keterangan
di atas, yakni Luwu dan Makassar pada masa Batara Guru danBatara Lattu
serta beberapa Raja sesudahnya (di luar Sawerigading) adalah 2 (dua)
wilayah kerajaan dengan 1 (satu) pemerintahan.Hal tersebut dikuatkan
dalam Lontara Makassar sebagai berikut:
“Lanri niana kananna angkana :Tanajawakkokuta’nang tonji
pangngassenna maggauka ri Bone Na iya pakkuta’nannu kanamakoinai uru
manurung ri Luwu napunna najawa’ kanamako inai uru makkasara ri
Luwu,inai butta Luwu, inai Limanna buttaya ri Luwu, inai pocci’na
buttaya ri Luwu,inai bangkenna buttaya ri Luwu, punna tana assenga
najawa’ sikammaya tayyaiantu asana manurunga ri Luwu naungi antu ri
empoanna. Napunna lebba’mopa’kuta’nannu ri Karaengan ri Luwu kuta’nang
tongi seng Karaenga ri Gowasiagadang Ma’gauka ri Bone, napunna
tanajawakka sikamma anjo pa’kuta’nanganaungi antu ri empoanna ngaseng
sikamma-kammaya.
Gambar 2. Aksara kuno Lalembate atau Lalebbata atau Laklakbatak digunakan di Malangke abad ke-10
Transliterasi I Lagaligo asli dari VanSirk melukiskan ‘Teologi
Batara Guru’ yang begitu mirip –tapi tak sama- dengan’Teologi Islam’
yang diajarkan oleh Muhammad. Begitu pun tutur masyarakat yangmengaitkan
pertemuan Nabi Muhammad dengan Sawerigading, sehingga meninggalkanbekas
keyakinan di Cerekang, Bawakaraeng dan To Lotang, atau juga
keyakinanyang dianut oleh Bissu Puang Matoa Saidi tentang “Nur
Muhammad”, menempatkan tarikh kerajaan ini sebelum dansesudah kelahiran
Muhammad SAW, yakni sekitar abad ke-4 hingga abad ke-7 Masehi.
Keterangan dari Van Sirk tentang aksaraPallawa yang digunakan dalam
Epos Lagaligo (yang asli, berkode BC -BugisChristomatie) menguatkan
tutur masyarakat bahwa Kerajaan ini bertarikh antaraabad ke-4 hingga
abad ke-7 Masehi. Sebab dalam Genealogy Script (SilsilahAksara
International) dituliskan bahwa Aksara Pallawa yang berasal dari
Indiaini digunakan antara tahun 400 Masehi hingga munculnya aksara Kawi
pada tahun 775Masehi.
Gambar 3. Aksara Pallawa (Kamboja) yang digunakan pada Lagaligo Menurut Bullbeck
Sementara itu, keterangan dari DavidBullbeck bahwa aksara yang
digunakan adalah ‘Indic Script’ atau ‘Brahmi’(aksara India), justru
menempatkan kerajaan ini pada abad 600 tahun sebelumMasehi hingga
munculnya aksara Pallawa tahun 400 Masehi, jauh lebih tua dariperkiraan
semua orang selama ini. Berikut kutipan silsilah aksara Asia
Tenggarayang berasal dari India, beserta periode kemunculan dan
pemakaiannya:
2.1.1.1. Brahmi abugida – c. 600 BC (India, SriLanka)
2.1.1.1.3. Pallava abugida- c. 400 (S. India)
2.1.1.1.3.3. Old Kawi abugida – c. 775(Indonesia)
2.1.1.1.3.3.1. Javanese abugida- c. 900 (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.2. Balinese abugida – c.1000 (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.3. Old Sundanese abugida – c. 1300(Indonesia)
2.1.1.1.3.3.3.1. Formal Sundanese abugida- 1997 (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.4. Batak abugida – c. 1300 (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.5. Baybayin abugida- c. 1300 (Philippines)
2.1.1.1.3.3.6. Buhid abugida- c. 1300(Philippines)
2.1.1.1.3.3.7. Hanunó’o abugida – c.1300 (Philippines)
2.1.1.1.3.3.8. Tagbanwa abugida- c. 1300 (Philippines)
2.1.1.1.3.3.9. Lontara abugida- c. 1600 (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.10. Rejang abugida- ? (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.11. Lampung abugida- ? (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.12. Kerinci abugida – ? (Indonesia)
Gambar 4. Perbandingan akasara dalam buku Ritumpanna Welenrengnge halaman 35
Laporan Arkeologi OXYS dan beberapalaporan-laporan arkeologi lain
yang mendahuluinya menyatakan bahwa di Seko dan Matano telah dilakukan
aktivitas tambang Metalurgy berupa Besi dan Nickel sejak2000 tahun
silam, semakin menambah kebingungan kita menetukan periodesasi awal
Kerajaan Luwu ini. Andai saja hal ini hanya sebagai asumsi atau dugaan,
makakita dapat mengabaikannya dalam rangka penentuan Periodesasi
Peradaban Kerajaan Luwu masa lampau. Tapi ternyata tidak, laporan
arkeologi untuk pernyataan ini memang telah ada sebelumnya. Bahkan
laporan arkeologi yang menyatakan bahwaperadaban di wilayah ini lebih
tua dari zaman exploitasi besi 2000 tahun silam, dapat dilihat dalam
tabel berikut ini:
Temuan tertua dari tabel di atas berupa10 unit ‘charcoal’ atau
arang untuk kremasi atau pembakaran mayat di dapat didaerah Sabbang
bertarikh abad 410 SM hingga 430 Masehi . Sementara temuantermuda berupa
3 buah tulang dan gigi ditemukan di Salabu bertarikh 1430 Masehihingga
1640 Masehi.
Nah, mengikut pada beberapa keterangansejarah, Epos Lagaligo, dan
laporan arkeologi di atas dan dengan berbagaipertimbangan, dapat
disimpulkan tentang periodesasi Peradaban dan Kerajaan Luwu,dibagi
sebagai sebagai berikut:
- Peradaban dimulai antara 3000 hingga2600 Masehi.
- Kerajaan Wawenriu’ (Matano), KerajaanLuwu Kuno (Malangke) dan Kerajaan Tompotikka (Palopo) telah ada sebelum 400Masehi. Ke-3 kerajaan ini akan dibahas dibagian akhir tulisan ini.
- Kerajaan Luwu Periode Galigo denganBatara Guru sebagai Datu pertama diikuti empat generasi sesudahnya dimulaisekira 400 Masehi hingga 1100 Masehi. Ibukota Pertamanya di Ussu’, disekitarsungai Manurung kemudian dipindah ke Wotu ketika Batara Lattu naik Tahta.
- Kerajaan Luwu Periode Lontara denganSimpurusiang sebagai Datu pertama dimulai sejak 1100 Masehi hingga tahun 1945saat Datu terakhir Andi Djemma menyatakan bergabung ke NKRI. (Belum dibahasdalam tulisan ini, dan akan dibahas kemudian)
SUKU DAN BAHASA
Pelras dalam The Bugis, Catatan Kaki No. 9 di halaman 124 mengatakan:“Sebenarnya,
pada mulanya, kerajaanLuwu’ bukan kerajaan Bugis, melainkan kerajaan
multi-etnis, yang lama kelamaan, sebagai akibat proses perkawinan antar
bangsawan tinggi se-Sulawesi Selatan, akhirnya dipimpin oleh sebuah
elite yang mengaku Bugis. Dalam sure’ Galigo, tampak jelas bahwa
penduduk Tanah Bugis tidak mengerti pembicaraan orang Luwu’, dan dalam
Sejarah Wajo’, sekurang-kurangnya sampai abad ke-15, orang Luwu’ dan
orang Bugis masih dibedakan.”
———————————————————————————————–
Dari Wikipedia bahasa Indonesia dituliskanbahwa Bahasa Luwu adalah
suatu bahasa yang digunakan di Tana Luwu, salahsatu suku bahasa dari
lebih sepuluh suku bangsa yang mendiami Tanah Luwu, Sulawesi Selatan.
Bahasa Luwu ini digunakan olehsebagian besar penduduk dari Tana Luwu,
dari empat kabupaten dan kota,masing-masing kabupaten Luwu, Luwu Utara,
Luwu Timur dan kota Palopo. Bahasa Luwu, termasuk serumpundengan bahasa
Toraja. BahasaLuwu ini digunakan selaku bahasa percapakan penduduk
setempat, mulai dariSelatan perbatasan dengan Buriko Kabupatan Wajo
sampai dengan daerah KabupatenLuwu Timur Malili.
————————————————————————————————
Dari BlogAnak Bugis Dijemput Di sini, diketahui bahwa Malaysia
familiar dengan nama 5anak Raja Bugis dari Luwu, Daeng Parani, Daeng
Manambung, Daeng Marewa, DaengCelak dan Daeng Kamase. Kelimanya putra
Daeng Kamboja. Dan karena Luwu adalahsatu kerajaan Besar yang kuat yang
sangat tua di jantung pulauSulawesi/Selebesi (penamaan dari Sele’ atau
keris dari besi) dan silsilah RajaRaja Bugis Makassar berasal dari
Luwu’. Penduduk Asli kerajaan Luwu, terbagidalam beberapa suku suku
kecil yaitu: (1) Bugis, (2) Toraja, (3) Torongkong, (4)Bela, (5) Baree,
(6) Mekongga, (7) Bajo (Bajau).
Tiap suku suku itu, mempunyai bahasa sendiri sendiri, misalnya:
Bahasa Bugis, BahasaToraja, Bahasa To Rongkong, Bahasa Bela, Bahasa
Baree, dan Bahasa Mekongga.Malah ada satu bahasa yang dipergunakan oleh
penduduk satu kampung saja,namanya “bahasa Wotu”, untuk kampung Wotu
sendiri. Bahasa yang banyakdipakai adalah Bahasa Bugis dan Bahasa
Toraja, karena kedua bahasa ini dianggap bahasa penghubung dalam
masyarakat Luwu. Dan kitab I La Galigo Luwu’ jugaditulis dalam bahasa
Bugis Kuno. Suku Rongkong umumnya terdapat didaerahMasamba, terutama
dikecamatan Rampi, dan sedikit di kecamatan Wara (Palopo) dikampung
Lebang. Suku Toraja (yang sudah memisahkan diri dari Luwu) terdapat
dibahagian Makale dan Rante Pao, dan di Kewedanaan Palopo di Pantilang
dan RanteBalla. Suku Bela dan Baree, terdapat di Kewedanaan Malili,
terutama diKecamatan Wotu dan Nuha. Suku Mekongga, terdapat di seluruh
daerah Kolaka, DAN SUKU BUGIS, TERDAPAT DI SEMUA DAERAH LUWU, terutama
di daerah-daerah pantai.Suku Bajo, tempatnya hanya dilautan dan sangat
kurang jumlahnya.
————————————————————————————————-
Keterangan dari Dian Cahyadi1yang tidak Ia sebutkan sumbernya mengatakan:
TanaLu’u (Luwu) asalnya didiami oleh suku To A’a (To A’ atau To Awa
atau ToLa’lang) disekitar wilayah Masamba hingga Wotu. Anak suku dari
To Rampi O atauRampi skg, persilangan dari suku To Mpere O’ (sdh hilang)
sempalan dari suku ToAlan dari wilayah Wera atau Wai Ra’ (sekitar danau
To Wuti) kemudian lebihdikenal sebagai To Wuti (Woite). Rampi sempalan
dari suku BoliO di wilayahdanau Poso. Di daerah selatannya (Baebunta =
Baabanta) hingga Larompong (Ara)didiami oleh suku To Alang (To Ala’)(?)
anak suku dari To Raya Tae’ (To Ta’)dan puluhan perkampungan dengan
sebutan kaum tiap kampung.
————————————————————————————————-
DalamGenealogy (silsilah) Bahasa Austronesia terungkap bahwa Bahasa
TAE dan BahasaBARE’E berasal dari bahasa Melayu. Selanjutnya, dari
hasil akulturasi penuturbahasa TAE dan Bahasa BARE’E, maka lahirlah
bahasa MAKASSAR. Bahasa Makassarmelahirkan bahasa WOLIO, dan bahasa
Wolio melahirkan Bahasa BUGIS dan BahasaMANDAR.
————————————————————————————————–
DIAKRONIK
Melihat dari tutur bahasa yang digunakandi bekas-bekas peradaban
Kerajaan Luwu masa lalu sesuai peta di atas, dapatdisimpulkan bahwa
terdapat 2 (dua) kelompok besar jenis bahasa yang pernahdigunakan.
Kelompok pertama yaitu jenis bahasa yang banyak menggunakan vokal’O’.
Penutur bahasa-bahasa ini bermukim di Gorontalo hingga ke sekitar Danau
Poso,Sulawesi Tengah. Bahasa ini lebih cenderung dimasukkan sebagai
rumpun bahasaCEBUANO, serumpun dengan bahasa-bahasa yang di pakai di
Sulawesi Utara dan dibeberapa tempat di Sulawesi Tengah. Rumpun bahasa
ini diturunkan dari bahasaMARANAO (MINDANAO), Filipina Selatan.
Hegemony bahasa bervokal ‘O’ mendapatsaingan ketat dari bahasa
tetangganya yang justru banyak menggunakan vokal ‘E’.Penutur bahasa ini
mendiami wilayah Sulawesi Selatan dan beberapa titik diSulawesi Tengah.
Sedangkan titik temu antara kedua hegemony ini adalah terlihatpada
penutur bahasa yang agak seimbang menggunakan vokal ‘O’ dan vokal
‘E’,yang pengaruhnya dimulai di sekitar Danau Poso, Pamona, Matano
hingga ke Wotu(Luwu Timur). Hegemony bahasa campur ini memanjang hingga
ke bekas kerajaanWOLIO di Sulawesi Tenggara.
Dalam Genealogy bahasa-bahasaAustronesia, bahasa campur ini disebut
sebagai bahasa BARE’E, yang dianggapsebagai Saudara kembar bahasa TAE’.
Kosakata bahasa BARE’E di sekitar DanauMatano yang berbanding 65%
bahasa Melayu dan 35% bahasa Cebuano, menyebabkan bahasaini lebih
cenderung dikategorikan sebagai turunan bahasa Melayu ketimbangbahasa
Cebuano.
Selain perbandingan kosakata tersebut,hal yang paling penting yang
tak dapat diingkari oleh penutur bahasa BARE’E disekitar Danau Matano
adalah mereka anak suku pertama yang menyempal dari sukuinduk To Pongko
(Wotu), bersamaan dengan penyempalan suku To Luwu dari indukyang sama.
Sebelum membentuk peradaban di sekitar Danau Matano serta
bahasaidentitas mereka (BARE’E), penyempalan penutur vokal campur ini,
awalnyamerangkak dari Wotu ke arah utara dan timur kemudian menyusur 4
(empat) muaralembah sungai di Luwu Timur, yakni muara Sungai Cerekang,
muara sungaiManurung, muara sungai Ussu, dan muara Sungai Larona.
Penyusuran ini bergerakperlahan dan memakan waktu antar 500 tahun hingga
1 (satu) millenium (1000tahun), hingga keturunan masing-masing mencapai
hulu (Puncak) ke-4 (empat) sungaitersebut.
Singkatnya, setelah mencapai 4 hulusungai ini, diaspora anak-anak
To Pongko dari hulu ke arah Timur justru berlangsung lebih cepat dari
sebelumnya. Hal ini dimungkinkan karena di daerah hulu, mereka tidak
terhambat oleh derasnya aliran sungai yang disebut di atas, banyaknya
rawa, rimbunnya hutan dan semak belukar liar seperti di dataran di
dataran tengah. Percepatan diaspora ini menyebabkan mereka kembali
bertemu di sekitar Danau Matano dan membentuk sebuah Peradaban Highland
(Dataran Tinggi). Pergerakan ini tidak terhenti sampai di situ, mereka
terus melakukan penetrasi ke berbagai arah, termasuk ke arah utara
hingga merekabertemu dengan penutur vokal ‘O’ di sekitar Danau Poso,
Pamona, dan beberapatitik yang saat ini masuk dalam wilayah Sulawesi
Tengah. Pada saat itulahBahasa BARE’E mulai terbentuk.
Sementara itu pergerakan mereka dariatas hulu ke arah Barat
menyebabkan mereka bertemu dengan anak-anak To Pongkolainnya yang
sebelumnya telah membentuk peradaban Lowland (dataran rendah) dimuara
Salu’ Pongko (Salo’Bongko’). Reuni di dataran tinggi tersebut,
selainmemberi andil untuk terciptanya beberapa anak suku lain, seperti
To Rongkong,To Seko, To Limbong, To Riaja (Toraja) dan sebagainya, reuni
ini juga memberiandil yang signifikan untuk terbentuknya bahasa TAE’,
sebagai turunan daribahasa To Luwu di Malangke yang bersumber dari
bahasa To Pongko di Wotu. BahasaTAE ini akhirnya digunakan sebagai
bahasa tutur (lingua Franca) dari anak-anaksuku Highland yang telah
disebutkan di atas.
————————————————————————————————————
Penyempalan penutur vokal campur yang diuraikan di atas bersamaan
dengan penyempalan penutur vokal ‘E’ dari To Pongko(Wotu) yang awalnya
merangkak dari Wotu. Sebelum membentuk sebuah peradaban,penyempalan
penutur vokal campur ini, awalnya merangkak dari Wotu ke arah Barat,
menyusur berbagai muara sungai seperti; muara sungai Lambarese, muara
sungai Rongkong (Salu Pongko/Salo Bongko) di Malangke, muara sungai Batu
Sitanduk, muara Sungai Battang, muara Sungai Boting dan Tompotikka (di
Palopo), muara Sungai Kamanre, muara Sungai Bajo, muara sungai
Larompong, dan muara Sungai Siwa. Bahkan ada juga yangberdiaspora
melalui laut hingga ke Pammana (Siwa dan Pammana sekarang masukwilayah
Kab. Wajo).
Ada 2 (dua) titik peradaban yangterbentuk dari hasil diaspora
menyusuri berbagai muara sungai ini, yakni To Liu(Luwu) di Malangke dan
To Ompo (Tompo –Tikka-) di Palopo (berdasarkan analisaberbagai sumber,
To Ompo di Soppeng itu awalnya berasal dari Palopo). Setelahpenyusuran
melalui muara sungai, mereka lalu bergerak ke arah utara melalui muara
sungai ke hulu sungai. Dalam kurun waktu 500 tahun hingga 1
(satu)millenum (1000 tahun), mereka pun berhasil menempatkan keturunan
mereka hingga di beberapa hulu sungai tersebut, dan membentuk beberapa
anak suku, seperti yang dikutip di bagian suku dan bahasa di atas.
Dari segi kebahasaan, dapat dikatakanbahwa diaspora penutur vokal
‘E’ ini agak lambat dalam membentuk bahasa baru. Merekatidak bertemu
dengan pesaing dari bahasa lain, kecuali di antara sesama
mereka,sehingga dalam kurun waktu millenia pertama sejak menyempal dari
induknya,hanya lahir sebuah bahasa baru yakni bahasa TAE, itupun tidak
jauh beda dengan bahasa To Luwu (indukbahasa Tae) di Malangke. Atau,
dapat dikatakan tak ada bahasa baru daridiaspora ini, kecuali dialek
baru.
Satuketerangan penting terkait hal ini diperoleh dari salah seorang
masyarakat Luwu Utara bahwa dahulu kala daerah Wotu hingga Malangke
dihuni suatu komunitastertua bernama Suku To Luwu. Ditambahkan pula
bahwa bahasa leluhur suku iniadalah bahasa TAE dengan sedikit nuansa
bahasa Bugis. Meski generasiTo Luwu saat ini lebih cenderung dikatakan
sebagai penutur bahasa BUGIS (dialekLuwu), namun jejak-jejak dari bahasa
leluhur mereka banyak diabadikan dalambeberapa Lontara’ Sulawesi
Selatan, termasuk dalam EPOS I LAGALIGO (yang asli).Karena itu, mereka
lebih sukamenyebut bahasa leluhur mereka itu dengan istilah bahasa
Lontara’.
Kelahiranbahasa baru dari diaspora ini, baru terjadi antara abad
ke-4 hingga abad ke-10Masehi. Itu pun setelah adanya interaksi antar
penutur vokal ‘E’ dengankembarannya penutur vocal campuran melalui
perkawinan. Ironisnya, tempat yangmenjadi lahan pembentukan bahasa baru
tersebut, justru berada dalam rentangjarak 400 hingga 500 km dari tempat
asalnya. Bahasa baru yang terbentuk itu adalah bahasa MAKASSAR, yang
lahir dari percampuran bahasa TAE (Luwu) dan bahasaBARE’E (Matano).
SEJARAH PENEMUAN BESI
Fenomena kebahasaan (Linguistik) dibekas Kerajaan Luwu ini,
menguatkan keyakinan bahwa pada masa lalu,sesungguhnya ada 2 (dua)
peradaban besar yang saling bertanding sekaligusbersanding memperebutkan
pengaruh yang bermuara pada Kebesaran Kerajaan Luwu.Kedua peradaban ini
mewakili Peradaban LEMBAH DANAU MATANO (kabupaten LuwuTimur sekarang),
dan Peradaban LEMBAH SALU PONGKO (sekarang masuk wilayah KabupatenLuwu
Utara). Peradaban Lembah Danau Matano memainkan hegemony di wilayah
Geografis penutur vokal ‘O’ dan penutur vokal campur (BARE’E). Sementara
PeradabanLembah Salu Pongko menguasai wilayah-wilayah Geografis penutur
vokal ‘E’.
Selain berebut pengaruh, kedua peradabanini bersaing memproduksi
Metalurgy dari perut bumi masing-masing untuk pasokan bahan- bahan
pembuatan senjata, alat perang dan kebutuhan-kebutuhan lainnya,baik
untuk dipakai sendiri atau pun pesanan dari komunitas lain. Dua
sungaibesar yakni sungai LARONA dan sungai RONGKONG- menjadi arus
lalulintas untukmengangkut hasil produksi metalurgy mereka ke tempat
tujuan pemesanan. SungaiLarona yang mengalirkan air Danau Matano melalui
Kota Malili, dan berujung diTeluk Bone, dijadikan sebagai sarana angkut
produk tambang oleh penutur vokal ‘campur’,dari sekitar gunung Pongko
(Matano) ke tempat tujuan. Sementara sungai Rongkongyang mengalirkan air
dari Seko dan Limbong melalui Sabbang/Baebunta danberakhir di Muara
Salo’Pongko, dijadikan sarana angkut produk tambang olehpenutur vokal
‘E’ dari Seko ke tujuan pemesanan. Penggalian Arkeologi besar-besar
antara tahun 1938 yang dilaporkan oleh Willems dan kawan-kawan dan juga
OXYS tahun 2004 pada 2 (dua) peradaban itu menguatkan hal tersebut.
Kokohnya Tanggul bendungan dengan lebar 3 meter, ternyata tak mampu membendung derasnya arus sungai Rongkong
Persaingan yang ketat di antara keduanya, tak urung menyulut api
permusuhan dan ancamanpeperangan. Untungnya, peranan besar MACOA
BAWALIPU di WOTU yang berada diantara kedua belah pihak dapat meredam
percikan api permusuhan tersebut. Solusikawin mawin yang ditawarkan
MACOA, dapat diterima dengan senang hati oleh keduabelah pihak. Solusi
damai atas ancaman perang ini justru dilukiskan dengansangat indah oleh
Lagaligo Putra Sawerigading dalam EPOS LAGALIGO, sebagaipengisian ALE’
KAWA (Dunia Tengah) oleh Batara Guru dari Highland (BOTINGLANGI’/Danau
Matano) dan We Nyili’timo dari Lowland (BURIQ LIU’/Pesisir
PantaiMalangke).
PerkawinanBatara Guru (La Toge’ Langi’) dengan We Nyili’ Timo
dianggap sebagai lambangreunifikasi (penyatuan kembali) 2 (dua) keluarga
besar dari suku To RIU’ (WAWENRIU) dengan suku To LIU’ (LUWU) yang
berasal dari satu nenek moyang (ToPONGKO), yang lama terpisah dan
tercerai berai akibat diaspora (penyebaranpenduduk/keturunan).
Selain sebagai lambang reunifikasi, perkawinan ini pun dapat
dianggap strategi yangsengaja dilakukan sebagai bentuk gebrakan diaspora
(penyebaran penduduk), untuk mematahkan kebiasaan lama berdiaspora
melalui hilir (laut/pantai) dan hulu (gunung)yang telah dilakukan
berabad-abad sebelumnya. Pilihan diaspora melalui pesisir pantai atau
juga gunung dan mengabaikan diaspora di dataran tengah, dianggap nyaman
oleh anak-anak To Pongko yang tidak ingin direpotkan oleh hutan dan
semak belukar liar yang memenuhi dataran tengah wilayah Luwu pada masa
lampau.
Pilihan diaspora lama dengan menyusuri daerah aliran sungai (DAS)
dari hilir ke hulu lebih disukai karena dengan begitu mereka tidak
direpotkan dengan persediaan bahan makanan berupa ikan dan udang yang
melimpah di sepanjang DAS. Apalagi,tak jauh dari tepi DAS jutaan pohon
sagu pun telah siap menanti untuk ditebangdan diambil isinya. Cukup
dengan menebang sepohon, mereka sudah dapat hidup sebulan. Mereka tak
perlu memikirkan kapan datangnya musim tanam dan kapan waktunya musim
panen. Yang ada hanyalah masa panen dan terus memanen.
Satu-satunya hal yang membebani pikiran mereka adalah bagaimana
mendapatkan alat tebang yangefektif untuk ‘massambe tabaro’ (menebang
pohon sagu) untuk makanan, danmenebang pohon kayu untuk perumahan. Alat
tebang berupa batu runcing dianggapsulit dan lamban, dan begitu banyak
menguras waktu dan tenaga. Beban pikiranini justru membawa berkah
tersendiri bagi nenek moyang orang Luwu. Pencarianalat tebang yang baik,
membawa mereka pada penemuan besi.
Danketika mereka mengetahui bahwa ternyata perut bumi mereka
dipenuhi olehbiji-biji besi, dan sangat mubazzir jika hanya digunakan
untuk keperluan penebangan pohon sagu dan pohon kayu, mereka pun mulai
mengeksploitasi besi-besi tersebutuntuk ditukar dan diperdagangkan
kepada komunitas lain. Eksploitasi besar-besarantingkat lokal mulai
terjadi ketika telah terbentuk 2 peradaban di Danau Matanod an Malangke,
yang berujung pada persaingan yang ketat di antara keduanyadan sering
menyulut api permusuhan dan ancaman peperangan antar sesama keturunanTo
Pongko, sesuai diceriterakan di atas.
TERBENTUKNYA KERAJAAN LUWU
Kembali ke reuni keluarga. Telah disebutkan bahwa perkawinan Batara
Guru (La Toge’Langi’) dengan We Nyili’ Timo dianggap sebagai lambang
reunifikasi (penyatuan kembali) 2 (dua) keluarga besar dari suku To RIU
(WAWENRIU) dengan suku To LIU (LUWU) yang berasal dari satu nenek moyang
(To PONGKO), yang lama terpisah dantercerai berai akibat diaspora
(penyebaran penduduk/ keturunan). Selain sebagai reuni, perkawinan itu
juga dianggap sebagai peredam percikan apipermusuhan di antara kedua
peradaban. Dan perkawinan itu pun telah menjadisebuah gebrakan yang
mematahkan kebiasaan lama berdiaspora, yang melebar dibagian hilir dan
hulu, serta membiarkan bagian tengah menjadi kosong. Pengisiandataran
tengah yang kosong ini dilukiskan dengan indah dalam Epos Lagaligo
sebagai pengisian ‘Aleq Kawa’ atau dunia tengah.
Beberapa tujuan tersirat di atas juga dilandasi oleh sebuah
fikosofi yang bijak akan masa depan keturunan mereka. Orangtua dari
kedua belah pihak tentu telahberpikir bahwa keturunan mereka tidak dapat
terus menerus mengandalkan sumberdaya alam (SDA) yang tersedia, yang
lama kelamaan akan terkuras habis manakalatidak dilakukan peremajaan.
Karena itulah, ketika kita membuka episode pertamaEpos Lagaligo: Saat
Diturunkannya Batara Guru”, terlihat benar bagaimana RajaPertama
Kerajaan Luwu ini di training habis-habisan. Ia tidak diberi makan
danminum selama tiga hari-tiga malam, hingga benar-benar merasakan
penderitaan.
Takada tujuan lain dari pada training tersebut kecuali memberi
proyeksi kepadaBatara Guru bahwa penderitaan seperti itulah yang akan
dihadapi oleh keturunanBatara Guru, kelak manakala tidak ada upaya untuk
mulai belajar bercocok tanam.Dan tempat paling sesuai untuk bercocok
tanam adalah dataran tengah.Efektifitas dari filosofi ini terlihat
hingga zaman orde baru lalu, di manaLuwu selalau menjadi penghasil beras
nomor satu di Sulsel.
KelahiranBATARA LATTU dari Perkawinan ini dapat dianggap sebagai
simbol lahirnya kembali(reinkarnasi) nenek moyang mereka ‘To PONGKO’,
sebagai manusia awal yang pernahmendiami Tana Luwu di Wotu. Karena
itulah, reunifikasi keluarga ini dikukuhkan dengan dijadikannya Wotu
sebagai Ware’ (Kotaraja) Kerajaan Luwu yang pertama,dengan La Toge’
Langi’ sebagai Datu’ Pertama. Selanjutnya, kerajaan inidiserahkan kepada
Batara Lattu ketika Ia telah dewasa dan dianggap cakapmemimpin sebuah
Kerajaan.
Kelahiran putra mahkota ini dianggap sebagai titik awal menyatunya 2
(dua) peradaban yangdiwakili oleh 3 (tiga) kerajaan tua di Luwu yakni
Wawenriu’, Luwu’, danTampotikka.
WELCOME TO WAWENRIU’
Dari uraian di atas dapat ditebak bahwanama Kerajaan Luwu diambil
dari kata ‘To Luwu’ (orang Luwu), salah satu sukutertua yang mendiami
Malangke, sempalan dari To Pongko (Wotu). Tak adaketerangan yang dapat
dijadikan rujukan kenapa dan kapan nama ini disepakatiuntuk mewakili
kedua peradaban tersebut. Kuat dugaan, keterampilan orang ToLuwu dalam
membuat publikasi dalam bentuk karya tulis berupa Lontara dan jugaEpos
Lagaligo menjadi alasan utama kata Luwu dijadikan pemersatu keduanya.
Bahasa yang digunakan dalam EposLagaligo maupun Lontara berasal
dari penutur vokal ‘E’, dan bukan menggunakan bahasa dari penutur vokal
‘O’, dan bukan juga menggunakan bahasa titik temuantara keduanya, Bahasa
BARE’E. Kendati demikian, bukan berarti tak ada Lontaraatau Lagaligo
yang ditulis dalam bahasa Bare’e, karena kenyataannya OrangSelayar
mengenal juga Lagaligo dan bahasa orang Selayar begitu mirip dengan
bahasa Wotu.
Jika nama Kerajaan Luwu diambil dari Komunitas suku To Luwu, lalu
apakah nama yang digunakan untuk menyebut Peradaban Danau Matano ketika
itu? Mungkin inilah jawaban dari teka-teki menghilangnya Kerajaan
WeWanriu’ selama ini. Agaknya telah terjadi salah eja atau salah tulis
dalam Epos Lagaligo, untuk nama Kerajaan Wawenriu’. Inilah yang
menyebabkan banyak sejarawan mengalami kesulitan mengidentifikasi
toponim kerajaan ini. Kesalahan eja atau penulisan terletak pada
pertukaran vokal. Sebetulnya bukan Wewanriu, tetapi Wawenriu’.
Wawenriu’ adalah singkatan dari Wawa INIA Rahampu’u. Pembuktian
akanhal ini dapat dilakukan dengan melafalkan kemajemukan kata Wawa Inia
Rahampu’u secara berulang-ulang. Secepat apapun kita melafalkan
kemajemukan kata tersebut secara berulang-ulang, maka secepat itu pula
kita mendapatkan kata Wawenriu’.
ArkeologisBugis Makassar Iwan Sumantri, dalam bukunya yang berjudul
“KEDATUAN LUWUmenegaskan, bahwa Wawa Inia Rahampu’u adalah Luwu, dan
Luwu adalah Wawa IniaRahampu’u. Penegasan Iwan Sumantri ini menguatkan
bahwa Wawenriu itu adalahWewanriu yang sering disebut-sebut dalam Epos
Lagaligo.
Kerajaan ini pula yang maksud dalam Epos I Lagaligo sebagai BOTING
LANGI’, kerajaan yangmerupakan tempat asal BATARA GURU (La Toge’
Langi’), Raja pertama KedatuanLuwu. Jika ditelusuri melalui kajian
linguistik, BOTI(ng) sama dengan WOTI(ng).WOTI artinya Wadah atau Waduk
atau DANAU, sedangkan LANGI’ berarti tempat yangtinggi. Dengan demikian,
BOTI(ng) LANGI’ artinya DANAU yang berada di KETINGGIAN. Kita dapat
membuktikan bahwa satu-satunya danau yang berada di ketinggian
diSulawesi Selatan hanya dijumpai ketika kita berjalan dari WASUPONDA ke
SOROAKO.Itulah DANAU MATANO, dan di sekitar danau inilah –pada masa
lampau- berdiriKerajaan Wawa Inia Rahampu’u, atau WAWENRIU’.
Darisegi asal usul kata, WAWENRIU adalah derivasi (turunan) kata
WaeNRIU yang artinyaair minum atau air tawar. Jelas, ini asli ucapan
lidah dari penutur vokal ‘E’,seperti yang diuraikan di atas. Jika kata
ini ditransformasi ke lidah penuturvokal ‘O’, maka ada beberapa variasi
yang akan ditemui, seperti: WAWONRIO,WOWONRIO, WAWONDIO, WOWONDIO, dan
sebagainya. 2 (dua) bunyi terakhir yakni WAWONDIO dan WOWONDIO, dekat
dengan nama sebuah Kecamatan di Luwu Timur, yaitu WAWONDULA, atau biasa
juga orang tuturkan dengan nama WOWONDULA. Kata Wawondula atau Wowondula
ini dapat dianggap sebagai bentuk bias dari bahasa BARE’E,sebagai
akibat dari persaingan hegemony dua penutur bahasa, yakni
kelompokpenutur vokal ‘E’ dari Selatan dan kelompok penutur vokal ‘O’
dari Utara.
Jadi jelas bahwa Wawenriu’ itu adalah Kerajaan Highland, atau
kerajaan air tawar. Karena itu tempatnya bukan di muara sungai atau
ditepi pantai. Beberapa argumen di atas cukup jelas bagi kita bahwa
argumen-argumen itu hanya merujuk kepadaWawa Inia Rahampu’u, sebagai
satu-satunya kerajaan yang disebut sebagaiWEWANRIU’ dalam Epos I
Lagaligo. Persoalan kesulitan identifikasi selama inibersumber pada
kesalahan eja ataupun salah tulis.
TAMPOTIKKA
Satulagi kerajaan yang menjadi perdebatan panjang dari Epos
Lagaligo adalah toponim(letak) kerajaan Tompotikka. Sejarawan dan
budayawan Internasional, nasional,dan lokal Bugis Makassar lebih sepakat
kalau Tompotikka itu berada di LuwukBanggai. Tapi tak ada salahnya
kalau orang Bone memiliki sejumlah argumen yangmenyatakan bahwa
Tompotikka itu di Bone. Dan sah-sah saja kalau orang Makassarpun punya
argumen yang kuat bahwa Tompotikka itu di Makassar. Orang Luwu pun
memilikiargumen yang kuat bahwa Tompotikka itu letaknya di Palopo.
Term (istilah) Tompotikka adalah aslibahasa Luwu dan bukan bahasa
Luwuk Banggai. Tompotikka adalah kata majemuk, yang jika diurai
menghasilkan 2 kosa kata yakni Tompo dan Tikka. Tompo artinya muncul,
namun dapat jugadiurai menjadi To dan Ompo yang berarti orang yang
muncul. Adapun Tikkamemiliki variasi makna, antara lain; air pasang,
musim kering dan siang hari.Makna ‘Tikka’ ini lazim dimengerti di Luwu
hingga saat ini, untuk menunjukkanair pasang, musim kering atau juga
terkait teriknya matahari di siang hari, danbukan dimaknai terbitnya
matahari di pagi hari. Dengan demikian, maknaTompotikka dapat berarti
munculnya air pasang, muncul di siang hari, atau punmuncul di musim
kemarau. Bisa juga berarti orang yang muncul saat air pasang atauorang
yang muncul saat terang, atau pun muncul di musim kemarau.
Jika diurai lebih dalam dari sudutbahasa, maka kata Tompo itu akan
menunjukkan beberapa nama tempat (Toponim) diLuwu. TOMPO adalah derivasi
(turunan kata) dari TAMPO. Sementara TAMPO adalah derivasi dari kata
TAMPU.
TOMPO = TOMPE di Malangke
TAMPO = TAPPO(ng) di Palopo
TAMPU = TAMPU(mia) di Malili
Adakah hubungan makna ini dengan kejadian masa lampau di Luwu?
Hingga saat ini hampir setiap hari masih dijumpai orang berduyun- duyun
ke Pelabuhan Tanjung Ringgit di Palopo. Kemunculan orang-orang tersebut
berada sekitar jam 9 hingga jam 11 Pagi untuk melakukan penyeberangan ke
Malangke Bone-bone, Wotu dan Malili, hingga ke Sulawesi Tenggara, atau
juga ke arah selatan seperti Belopa Suli Larompong hingga ke Wajodan
Bone. Saat jam 9 hingga jam 11 itulah yang disebut dengan Tikka
(terang)karena saat itu pula biasanya terjadi Tikka (air pasang). Mereka
menunggu airpasang saat terang untuk melakukan penyeberangan.
Sebaliknya, orang-orang dari luar Palopo yang ingin masuk ke Palopo,
biasanya harus menunggu air pasang agar dapat tiba tepat di anjungan
kapal atau perahu di pesisir tanjung ringgit ataupun masuk ke pusat
Palopo melalui Sungai Tompotikka atau Sungai Boting. Biasa juga air
pasang lebih dulu datang mendahului terang. Namun orang-orang lebih suka
berdiam dalam kapal/perahu hingga terang itu datang.
1000 tahun silam, air pasang Tanjung Ringgit Palopo
yang terlihat dari gambar ini naik menohok
(Ma’tumpa’/Ma’tuppa’/Latuppa’) hingga ke kaki bukit yang terlihat lebih
jauh di belakang, Akibatnya, benda-benda di kaki bukit menjadi MAWA’
atau MAWANG yang artinya terapung.
Seperti itulah makna Tompotikka yanglazim di mengerti di Luwu.
Pemandangan tersebut memang tidak seramai dulu. Transportasimelalui
jalan-jalan darat yang telah menembus sekat-sekat isolasi antar
daerahkini lebih disukai masyarakat menggantikan jalur penyeberangan
melalui laut. Meskidemikian, kebiasaan menunggu air pasang menjelang
siang tersebut hingga kinimasih tetap berlaku bagi beberapa warga atau
pelaut, termasuk para nelayan yangingin melaut atau membawa pulang hasil
tangkapan ke rumah atau ke tempatpelelangan ikan di Palopo.
TO OMPO
Tentang To Ompo yang telah disinggung diatas, Telah disebutkan
bahwa berdasarkan analisa berbagai sumber, To Ompo diSoppeng itu awalnya
berasal dari Palopo. Lalu ada apa sehingga mereka pindah keSoppeng?
Nama ini dianggap sebagai nama suku yang pertama yang mendiami Palopo.
Nama suku ini senasib dengan To Liu’ (Luwu) dan To Riu’ (Wawenriu’) yang
takdapat diidentifikasi oleh peneliti sejarah maupun penutur sejarah,
namun masihdapat dikenali melalui Epos Lagaligo, dengan term yang agak
berbeda. Dari nama suku inilah lahir nama TOMPOTIKKA. Selain makna yang
telah diurai di atas, Tompotikka dapat pula berarti Orang yang hidup di
tempat air pasang.
Dari penuturan Drs. Jabbar Hamseng, MH, seorang warga Palopo asal
Larompong diketahui bahwa Palopo pernah dilanda banjir bandang yang
sangat besar. Banjir bandang ini terjadi akibat bertemunyaair pasang dan
air bah (banjir). Meski tidak menyebut kapan terjadinya banjir
bandangtersebut, namun dari hasil eskavasi (galian) arkeologi diketahui
bahwa daerahini bukan hanya sekali dilanda banjir bandang, tapi telah
berkali-kali. 2 (dua)diantara banjir bandang tersebut teridentifikasi
melalui laporan arkeologi yangdisampaikan oleh David Bullbeck, bahwa
sekitar 1000 tahun yang lalu, Palopopernah menjadi sentra industri
‘pyrotechnology’ atau pencetakan gelas/kaca.Berikut kutipan dari
pernyataan David Bullbeck: “…A waste piece of cast glass
found 60 cmbeneath the soil near Palopo (van der Hoop 1941:319) offers
some evidence ofadvanced pyrotechnology in Luwu by 1000 years ago….”
Dikatakan pula dalam laporan tersebutbahwa Palopo, meski belum
menjadi ibukota Luwu hingga abad ke-17 (Caldwell1993), ditemukan area
yang menggemparkan, di mana dieskavasi 2 lembar jubahChe-chiang, yang
berasal dari abad ke 13 dan abad ke-14, sesuai yangdiidentifikasi oleh
Orsoy de Flines.
Berikut kutipannya: “…Palopo,eventhogh it did not
become Luwuk’s capital until the 17th century (Caldwell1993), contains a
“tumultous area” where two 13th-14th century Che-chiangceladons were
excavated, as identified by Orsoy de Flines….”. Laporanarkeologi di atas
dapat kita temukan dalam Ancient Chinese and Southeast AsianBronze Age
Cultures, oleh David Bullbeck, 1998.
Keterangan hasil galian arkeologi diatas cukup memberi petunjuk
bahwa setidaknya telah dua kali daerah ini dilandabanjir bandang, yakni
1000 tahun lalu dan 700 tahun lalu. Begitu besarnyabanjir sehingga
membenamkan wilayah ini. Diduga, banyak korban jiwa akibat banjir
tersebut, sementara yang selamat mencari tempat hunian baru. Yang
hanyutke Teluk Bone dan selamat dari banjir ini menjadi orang Liwukang
(Libukang). KorbanBandang di bagian Barat Daya menjadi orang Warompo,
singkatan dari Wara Ompo (Larompong sekarang). Yang hijrah dan mencari
tempat tinggi menjadi orangTaulette (sekarang Tanete, di Wajo). Dan yang
hijrah dari Tompotikka (Paloposekarang) ke Daerah Soppeng Timur melalui
laut, tetap menggunakan identitas ToOmpo dari Tompotikka agar mudah
dikenali oleh kerabat dan keluarga yang menjadiasal usul mereka. OMPO’
adalah bahasa Luwu, sama maknanya dengan OMBO (bahasaTAE’) atau OPPO’
(Bahasa Bugis Luwu). Kata yang terakhir ini (oppo’) kini lebihcenderung
digunakan untuk memaknai pemenang PILKADA.
Hingga tahun 1970-an air pasang diPalopo masih dijumpai naik hingga
ke tempat yang sekarang menjadi KantorWalikota Palopo. Air pasang di
Kota Palopo saat ini masih dapat dilihat hampirsetiap hari pada 2 (dua)
sungai yang membelah Kota Palopo, yakni Sungai Tompotikka dan Sungai
Boting. Air pasang yang besar yang melalui sungai Boting masih
biasadijumpai naik hingga ke Luminda, bahkan ke Boting. Sementara air
pasang yangmelalui Sungai Tompotikka masih biasa dijumpai naik hingga ke
daerah Sempowae,bahkan Mawa.
Seperti itulah gambaran air pasang diPalopo saat ini dan 30 tahun
silam, sehingga dapat diduga bahwa 1000 tahun laluair pasang yang
melalui sungai Tompotikka itu mencapai Latuppa’, sementara yangmelalui
sungai Boting mencapai Lebang. Jika dianalisis secara bahasa, LA
TUPPA’itu adalah asli tuturan lidah orang Bugis. Jika kata tersebut
ditransformasi kelidah penutur bahasa TAE maka menjadi LA TUMPA’. Tumpa’
artinya menjolok/menohokdari bawah ke atas. Sementara “LA” di depan
kata Tumpa’(Tuppa’) adalah penanda defenitif, sama dengan “The” dalam
bahasa Inggris atau juga “Al” (alif lamma’rifah) dalam bahasa Arab. Dari
analisis ini, kita ketahui bahwa La Tumpa’ (LaTuppa’) itu bermakna
sesuatu yang menjolok/menohok dari bawah ke atas ATAUsipenjolok/
sipenohok dari bawah.
Gambaran air pasang yang ketinggiannyamencapai daerah Latuppa
ataupun Lebang sekitar 1000 (seribu) tahun yang lalu ini menyebabkan
benda-benda di daerah sebelumnya menjadi MAWA’ atau MAWA(NG) yang
artinya terapung. Makanya, tidak heran jika dataran yang diapit di
antara kedua belah sungai ini di namakan MAWA’. Selain hubungan makna
tersebut, warga Palopo saat ini masih banyak yang memegang kepercayaan
lama (To Dolo) terkait airpasang. Orang-orangtua yang mengaku modern
sekalipun hanya menganjurkan prosesi pindah rumah ketika air pasang, dan
tidak akan menganjurkan prosesi pindah rumah ketika air surut.
Nah, itulah sekelumit gambaran tentangTompotikka yang dimaksud
dalam Epos Lagaligo. Sungai Tompotikka dan bekas Benteng Tompotikka jadi
saksi abadi bahwa Palopo adalah Tompotikka yang dimaksud dalam Epos
Lagaligo. Pengabadian itu tetap terpelihara dengan dibentuknya sebuah
kelurahan bernama Tompotikka di daerah yang lebih dikenal di Palopo
dengan nama Tappo(ng). Dan Tappo(ng) ini adalah bentuk derivasi dari
kataTampo.
Gambar 8. Peta yang menunjukkan letak sungai Tompotikka dan Benteng Tompotikka di Palopo
Dikutipdari : Economy, Military and Ideology in Pre-Islamic Luwu, SouthSulawesi, Indonesia oleh David Bullbeck
Istri Batara Lattuq atau Ibunda dari Sawerigading dan Tenriabeng
dalam Epos Lagaligo berasal dari Tompotikka. Dalam silsilah yang
dikeluarkan Friedericy, yang dapat dilihat dalam buku Ritumpanna
Welenrengnge halaman 95, Ibunda Sawerigading dan Tenriabeng itu bernama
WE OPUSENGNGENG. ‘OPU’ adalah sapaan yang hanya berlaku bagi bangsawan
Luwu yangtelah berkeluarga dan punya keturunan, dan tidak berlaku untuk
bangsawan laindi luar wilayah Luwu.
Gambar 9. Silsilah Raja Luwu dari Fredericy
Itulah beberapa bukti sejarah (bukanMitos) bahwa Tompotikka itu
adalah Palopo. Tiga Toponim dalam Epos Lagaligoyakni WAWENRIU’, LUWU dan
TOMPOTIKKA adalah satu rangkaian yang tak dapatdipisah antara satu
dengan yang lain. Tiga kerajaan inilah yang tergabung menjadi satu dalam
ikatan perkawinan yang diusulkan oleh Macoa Bawalipu WOTU,sehingga
berujung pada kebesaran Kerajaan Luwu.
Setting utama cerita Epos Lagaligoadalah berkisah tentang Luwu,
diperankan oleh Raja-raja Luwu, dan ditulis dalambahasa Luwu. Ketiga
toponim tersebut di atas berada di Luwu, karena itu sangatkeliru jika
ada pihak-pihak yang dengan sengaja ingin mengaburkan salah satu
dariketiga Toponim tersebut dengan maksud ingin mengklaim EPOS LAGALIGO
sebagaimilik mereka. Bagaimana pun, EPOS LAGALIGO adalah milik orang
Luwu.
Palopo pada awal abad peradaban adalahTompotikka. Penamaan menjadi
Palopo ini setelah acara penancapan tiang MasjidJami’ Tua ke dalam
lubang pondasi pada tahun 1604. Saat itupula ibukotakerajaan Luwu
berpindah dari Malangke ke Palopo. Seiring perjalanan waktu,dengan
melihat tingginya peradaban Palopo pada masa lampau dan
dibandingkandengan tingkat prestasi pembangunan yang dicapai oleh warga
Kota Palopo saatini, patut kita bertanya: ADA APA DENGAN PALOPO?
PALOPO artinya “Benamkan”. Lawan katadari itu adalah PA-OMPO yang
artinya “Munculkan”. Usai prosesi pembenaman tiangMasjid Jami’ tahun
1604 silam, serta penamaan Kotaraja terakhir Kerajaan Luwuini dengan
nama PALOPO yang berarti ‘BENAMKAN’ maka berangsur-angsur
terbenampulalah Palopo sebagai Kotaraja Luwu pada khususnya, dan
peradaban Luwu padaumumnya, dari dominasi hiruk pikuk Kejayaan masa
lampau. Apakah hal ini terkaitdengan penamaan sebuah tempat/daerah? W
Allahu a’lam bisshawaab! Rasullullah SAWpernah berwasiat agar memberi
nama yang baik kepada anak atau cucu yang barulahir, karena NAMA ADALAH
HARAPAN. Orang yang beriman kepada Allah danRasulnya, akan menunaikan
wasiat ini. Namun orang yang mengingkari amanah inilebih nyaman dengan
slogan dari Shakespear: APALAH ARTI SEBUAH NAMA!
PENUTUP
Tulisan yang membahas tentang AwalPeradaban dan Kerajaan Luwu ini
berpedoman pada Catatan Sejarah, Epos Lagaligo,Laporan Arkeologi dan
Tinjauan Kebahasaan (Linguistik). Tulisan ini mungkinberbeda dengan
tulisan yang telah ada sebelumnya (jika ada), dan hal tersebutdapat
dipahami sebagai perbedaan dari sudut pandang semata. Karena itu,
tulisan ini dapat dikatakanmasih bersifat HIPOTESIS. Pengakuan,
pembenaran serta koreksi dari berbagai komponen Masyarakat Luwu dapat
mengukuhkannya sebagai sumber literatur sejarah.
Sumber : http://wijasalawa.wordpress.com
ichankjuradi(c)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar