Kamis, 26 Juli 2012

ARSITEKTUR TRADISIONAL SULAWESI SELATAN Part2


Konsep Mandar









Identitas Arsitektur Tradisional Mandar tergambar dalam bentuk rumah tradisional yang disebut ”boyang” . dikenal adanya dua jenis boyang,yaitu : ”boyang adaq” dan ”boyang beasa”. ”Boyang adaq” ditempati oleh keturunan bangsawan, sedangkan ”boyang beasa” ditempati oleh orang biasa. Pada ”boyang adaq” diberi penanda sebagai simbolik identitas tertentu sesuai tingkat status sosial penghuninya. Simbolik tersebut, misalnya ”tumbaq layar” yang bersusun antara 3 sampai 7 susun, semakin banyak susunannya semakin tinggi derajat kebangsawanan seseorang. Sedangkan pada boyang beasa, ”tumbag layar” nya tidak bersusun. Simbolik lain dapat dilihat pada struktur tangga. Pada boyang adaq, tangganya terdiri atas dua susun, susunan pertama yang terdiri atas tiga anak tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas sembilan atau sebelas anak tangga. Kedua susunan anak tangga tersebut diantarai oleh pararang . sedangkan boyang beasa,tangga tidak bersusun.

Rumah tradisional Mandar berbentuk panggung yang terdiri atas tiga bahagian, sama ”Ethos Kosmos” yang berlaku pada etnis Bugis Makassar. Bagian pertama disebut ”tapang” yang letaknya paling atas, meliputi atap dan loteng. Bagian kedua disebut ”roang boyang” , yaitu ruang yang ditempati manusia, dan bagian ketiga disebut ”naong boyang” yang letaknya paling bawah. Demikian pula bentuk pola lantainya yang segi empat, terdiri atas ”tallu lotang” (tiga petak). Petak pertama disebut”samboyang” (petak bagian depan), petak kedua disebut ”tangnga boyang” (petak bagian tengah) dan petak ketiga disebut ”bui’ lotang”(petak belakang).
Tatanan dan aturan rumah adat, tiga susun dan tiga petak menunjukkan makna pada filosofi orang Mandar yang berbunyi : ”da’dua tassasara, tallu tammallaesang” (dua tak terpisah, tiga saling membutuhkan). Adapun dua yang tak terpisahkan itu adalah aspek hukum dan demokrasi, sedangkan tiga saling membutuhkan adalah aspek ekonomi, keadilan, dan persatuan.
Struktur bangunan rumah orang mandar, terdiri dari bagian paling atas, yaitu ”ate” (atap). Atap rumah berbentuk prisma yang memanjang ke belakang menutupi seluruh bagian atas rumah.
Pada masa lalu, rumah-rumah penduduk, baik boyang adaq maupunboyang beasa menggunakan atap rumbia. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut banyak tersedia dan mudah untuk mendapatkannya. Pada bagian depan atap terdapat ”tumbaq layar” yang memberi”identitas” tentang status penghuninya. Pada ”tumbaq layar” tersebut dipasang ornamen ukiran bunga melati. Di ujung bawah atap, baik pada bagian kanan maupun kiri diberi ornamen ukiran burung atau ayam jantan. Pada bagian atas penutup bubungan, baik di depan maupun belakang dipasang ornamen yang tegak ke atas. Ornamen itu disebut”teppang”.
Di bawah atap terdapat ruang yang diberi lantai menyerupai lantai rumah. Ruang tersebut diberi nama ”tapang”. Lantai tapang tidak menutupi seluruh bagian loteng. Pada umumnya hanya separuh bagian loteng yang letaknya di atas ruang tamu dan ruang keluarga. Tapangberfungsi sebagai gudang untuk menyimpang barang-barang. Bila ada hajatan dirumah tersebut, tapang berfungsi sebagai tempat menyimpan bahan makanan sebelum dihidangkan atau didistribusikan. Pada masa lalu, ”tapang” tersebut sebagai tempat atau kamar calon pengantin wanita. Ia ditempatkan pada kamar tersebut sebagai tindakan preventif untuk menjaga ”siriq” (harga diri). Untuk naik ke tapang, terdapat tangga yang terbuat dari balok kayu atau bambu. Tangga tersebut dirancang untuk tidak dipasang secara permanen, hanya dipasang pada saat akan digunakan.
Rumah orang Mandar, baik boyang adaq maupun boyang beasamengenal tiga petak ruangan yang disebut lotang. Ruangan tersebut terletak di bawah tapang yang menggunakan lantai yang terbuat dari papan atau bilah bambu. Adapun ketiga ”lotang” ruangan tersebut adalah : ”Samboyang”, yaitu petak paling depan. ”Tangnga boyang”, petak bagian tengah rumah. Petak ini berfungsi sebagai ruang keluarga, di mana aktivitas keluarga dan hubungan sosial antara sesama anggota rumah tangga. ”Bui boyang”, petak paling belakang. Petak ini sering ditempatkan ”songi” (kamar) untuk anak gadis atau para orang tua seperti nenek dan kakek. Penempatan songi untuk anak gadis lebih menekankan pada fungsi pengamanan dan perlindungan untuk menjaga harkat dan martabat keluarga. Sesuai kodratnya anak gadis memerlukan perlindungan yang lebih baik dan terjamin.
Ketiga petak di dalam roang boyang tersebut memiliki ukuran lebar yang berbeda. Petak yang di tengah biasanya lebih lebar dibanding dengan petak-petak yang lainnya. Sedangkan petak yang paling depan lebih lebar dibanding dengan petak yang paling belakang.
Khusus pada boyang adaq, di dalam roang boyang terdapat ruangan atau petak yang lantainya lebih rendah ”tambing” atau ”pelleteang”.Letaknya selalu dipinggir dengan deretan tiang yang kedua dari pinggir, mulai dari pintu depan ke belakang. Ruangan ini merupakan tempat lalu lalang anggota keluarga. Olehnya itu, pemasangan lantai yang terbuat dari papan agak dijarangkan agar berbagai kotoran, seperti debuh, pasir, dan sebagainya dapat lebih mudah jatuh ke tanah. Selain itu, ruang ini juga berfungsi untuk menerima tamu dari kalangan masyarakat biasa danata (budak).
Bangunan tambahan yang diletakkan di belakang bangunan induk disebut”paceko” (dapur). Bangunan tersebut biasanya dibuat secara menyilang dengan bangunan induk. Panjangnya minimal sama dengan lebar bangunan induk, dan lebarnya minimal sama dengan satu petak bangunan induk. Bangunan ini disertai ruang yang lapang, sehingga mempunyai banyak fungsi. Pada ”paceko” juga tersedia tempat buang air kecil yang disebut ”pattetemeangang”.
Bangunan tambahan yang ada di depan rumah yang disebut dengan”lego-lego” (teras). Bangunan ini biasanya lebih sempit dibanding dengan bangunan tambahan bagian belakang. Kendati demikian, bangunan tersebut tampak lebih indah dihiasi berbagai ornamen, baik yang berbentuk ukiran maupun yang berbentuk garis-garis vertikal dan horisontal. Fungsi bangunan ini adalah sebagai tempat sandaran tangga depan, tempat istirahat pada sore hari dan tempat duduk sebelum masuk rumah.
Rumah tradisional Mandar, baik ”boyang adaq” maupun boyang beasapada umumnya mempunyai dua tangga, yaitu tangga depan dan tangga belakang. Setiap tangga mempunyai anak tangga yang jumlahnya selalu ganjil. Jumlah anak tangga pada setiap tangga berkisar 7 sampai 13 buah. Jumlah tersebut disesuaikan dengan tinggi rumah. Pada umumnya,boyang adaq memiliki anak tangga yang lebih banyak, yaitu berkisar 11 sampai 13 buah. Sedangkan ”boyang beasa” sekitar 7 sampai 9 buah. Pada boyang adaq, tangga depannya bersusun dua dilengkapi dengan pasangan. Sedangkan ”boyang beasa”, tangganya tidak bersusun dan tidak dilengkapi pegangan.
Terdapat ruang di bawah lantai yang disebut ”naong boyang” (kolong rumah). Pada masa lalu, kolong rumah hanya berlantai tanah. Ditempat itu sering dibuatkan ”rambang” sebagai kandang ternak. Ada kalanya sebagai tempat manette (menenun) kain sarung bagi kaum wanita.
Bagian yang lain pada rumah adalah rinding (dinding). Dinding rumah terbuat dari kayu (papan) dan bambu (taqta dan alisi ). Pada umumnya,boyang adaq mempunyai dinding yang terbuat dari papan. Sedangkanboyang beasa selain berdinding papan, juga ada yang berdinding taqtadan alisi, rumah yang berdinding taqta dan alisi, penghuninya berasal dari golongan ata (beasa). Dinding rumah dirancang dan dibuat sedemikian rupa sesuai tinggi dan panjang setiap sisi rumah dan dilengkapi jendela pada setiap antara tiang. Hal itu dibuat secara utuh sebelum dipasang atau dilengketkan pada tiang rumah. Pembuatan dinding seperti itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan pasangannya, demikian pula untuk membukanya jika rumah tersebut akan dibongkar atau dipindahkan.
Mendirikan rumah ”boyang” melalui suatu tahapan kegiatan yang meliputi persiapan, membangun ”boyang” dan hasil kegiatan berupa ”bangunan” atau rumah tradisional. Dalam proses persiapan ada beberapa hal yang patut diperhitungkan, yaitu bahan baku yang tersedia dari lingkungan alam sekitar (lokal) maupun dari luar (dari daerah lain), menyiapkan ”pappapia buyang” (tukang dan ahli) sesuai latar belakang sosial budaya penghuninya. Gaya arsitektur tradisional banyak dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang tersedia disekitar lingkungan alam setempat.
Gambar 5. Boyang Adaq Mandar
Suatu bangunan rumah ”boyang” tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi memiliki nilai dan makna tersendiri sesuai dengan adat istiadat masyarakat tradisional Mandar. Olehnya itu, suatu rumah tradisional memiliki ciri khas terutama pada tipologi, interior/eksterior, dan ornamen yang ada didalamnya.
Membangun rumah tradisional mandar memerlukan beberapa rangkaian kegiatan seperti musyawarah antar sesama keluarga atau kerabat, pemilihan lokasi atau tempat mendirikan rumah, dan pengadaan bahan baku untuk tiang, lantai, atap dan sebagainya.
Bagi orang Mandar, setiap akan membangun rumah ”boyang” senantiasa didahului dengan suatu pertemuan antara seluruh keluarga atau kerabat. Dalam pertemuan tersebut dilakukan musyawarah, yang biasanya dipimpin oleh anggota keluarga yang lebih tua dan banyak tahu tentang nilai-nilai dan adat istiadat dalam masyarakat tradisionalnya. Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam pelaksanaan musyawarah dihadirkan pula pappapia boyang (tukang ahli rumah). Musyawarah lebih diutamakan pada penilaian status sosial yang akan menempati rumah tersebut. Sebab dari status sosial yang akan menempati rumah tersebut. Dapat diketahui jenis dan bentuk rumah yang akan dibangun. Kalau yang bersangkutan berstatus bangsawan, maka jenis rumah yang akan dibangun adalah ”boyang adaq”, bila yang bersangkutan berasal dari golongan masyarakat biasa, maka rumah yang akan dibangun adalah”boyang beasa”. Dalam musyawarah tersebut penilaian dan penentuan susunan tumbaq layar juga dibicarakan.
Pemilihan waktu mendirikan ”boyang” juga sangat penting, karena terkait dengan kepercayaan masyarakat tradisionalnya. Menurut mereka, ada waktu yang baik dan ada waktu yang buruk. Waktu yang baik selalu dihubungkan dengan ”keberuntungan” dan ”keselamatan”.Pemilihan waktu. Sedangkan waktu yang buruk selalu dihubungkan dengan ”bala”, bencana dan ketidak mujuran, karena itu kegiatan awal dalam memulai mengerjakan rumah senantiasa berpedoman pada waktu-waktu baik, hari-hari baik adalah senin, kamis, dan jumat. Bulan-bulan tertentu dianggap kurang baik, seperti Muharram, Syafar, Jumadil Awal, dan Dzulkaiddah.
Pemilihan tempat mendirikan ”boyang” sangat terkait dengan kepercayaan tradisi masyarakat tentang adanya tanah yang baik dan kurang baik untuk dibanguni ”boyang”. Tanah yang baik adalah tanah yang agak keras, tidak lembek. Biasanya berada pada daerah yang relatif sedikit tinggi atau bukit. Selain itu, tanah tersebut sebaiknya ”berbau wangi”. Tanah seperti ini memberi makna keharuman, agar keluarga mereka kelak dapat memperoleh kebahagiaan, keharmonisan dalam rumah tangga.
Orientasi rumah ”boyang” yang paling baik adalah berorientasi pada arah yang mengandung makna positif, yaitu arah timur tempat matahari terbit. Arah pergerakan matahari yang menanjak naik mengandung makna kebaikan, yaitu selalu bertambah ”naik” . dalam pengertian ini, yang diharapkan selalu bertambah adalah nasib baik, terutama rezki dan amal kebijakan. Dengan arah rumah ketimur, cahaya matahari pagi dapat menyinari ruang lego-lego hingga kedalam rumah. Setelah agama Islam masuk di daerah Mandar, maka muncullah pandangan baru bahwa arah barat juga baik. Arah barat dianggap menghadap ke kiblat.
Sedangkan bahan bangunan diusahakan dan diambil dari lingkungan alam sekitar. Penebangan ayu (kayu) dan bambu biasanya disesuaikan dengan waktu baik. Waktu-waktu baik adalah sama halnya pada saat memulai membangun rumah ”boyang”. Pada saat menebang kayu, yang pertama harus ditebang adalah bahan untuk membuat possi arring (tiang pusat). Jenis kayu yang diperuntukkan untuk possi arring tidaklah sembarang, biasanya kayu ”sumaguri” dan ”cawe-cawe” . kedua jenis kayu tersebut mengandung makna simbolis. Untuk jenis sumaguri mengandung makna ”empati kepada seluruh masyarakat”. Jadi, jenis kayu tersebut banyak digunakan pada possi arriang rumah adaq. Sedangkan jenis kayu cawe-cawe mengandung makna ”semangat atau mengairahkan”. Jenis kayu tersebut pada umumnya digunakan untuk ”possi arriang” rumah biasa. Hal ini dimaksudkan agar penghuninya kelak senangtiasa bersemangat atau bergairah dalam mengarungi kehidupan dunia.
Penebangan kayu untuk ”possi arriang” harus dilakukan oleh ”sando boyang”. Sebelum melakukan penebangan, ”sando boyang” melakukan upacara ritual yang dilakukan sendiri dirumahnya. Waktu penebangan diupayakan pada hari-hari baik. Adapun hari baik menebangan kayu untuk ”possi arriang” adalah hari ke 14 terbitnya bulan, orang Mandar menyebutnya ”tarrang bulan” (terang bulan), atau pada hari ke delapan sebelum tenggelamnya bulan. Penebangan kayu dilakukan pada pagi hari sekitar jam 09.00. Penebangan kayu dapat dilakukan oleh beberapa orang, tetapi pekerjaannya harus dimulai oleh sando boyang. Ada hal yang penting untuk diperhatikan dan diperhitungkan pada saat menebangan kayu, yaitu kayu tersebut harus tumbang dan jatuh kearah matahari terbit. hal ini dimaksudkan agar cahaya matahari senantiasa menerangi rumah yang akan dibangun. Dalam pengertian ini terdapat makna simbolis, bahwa diharapkan kelak rumah yang akan dibangun itu senantiasa dalam kondisi yang terang bercahaya.
Pembangunan rumah tradisional ”boyang”, dimulai dari pembuatan tiang ”arriang”. Setiap rumah memiliki tiang minimal 20 batang. Tiang tersebut diatur dan disusun berjejer kesamping dan kebelakang. Setiap jejeran ke samping biasanya terdiri atas lima batang. Sedangkan jejeran ke belakang biasanya empat batang (tidak termasuk tiang paceko). Kelima tiang yang berjejer ke samping diupayakan memiliki lekukan dan bengkok yang sama. Dalam pembuatan ”arriang”, pekerjaan pertama yang harus dibuat adalah ”possi arriang” (tiang pusat). Setelah ”possi arriang” usai dikerjakan, maka dilanjutkanlah pekerjaan pada seluruh tiang rumah lainnya. Pekerjaan seluruh tiang tersebut harus diperhatikan ujung-pangkalnya. Semua tiang pangkalnya harus berada di bawah, tidak boleh terbalik.
Bagi rumah tradisional yang mempunyai paceko dan lego-lego, maka harus menggunakan minimal lima tiang tambahan untuk Paceko dan dua atau empat tiang untuk lego lego.
Rumah tradisional Mandar yang terdiri atas tallu lontang, jumlah pasak yang dibutuhkan sebanyak 18 buah. Pasak tersebut terdiri atas empat untuk passolor, empat untuk baeq, lima araiang diaya dan aratang naong. Selain itu, bilamana rumah tersebut mempunyai tambing, maka harus ditambah lagi aratang diaya dan aratang naong masing-masing satu buah. Bila rumah tersebut ditambah paceko, maka harus ditambah lagi passollor dan baeq sebanyak lima buah. Sedangkan aratang diayadan aratang naong masing-masing dua buah. Selain pasak, terdapat pula balok kayu yang bentuknya pipih menyerupai pasak. Kayu ini disebutpambalimbungan (tulang punggung, paling diatas tempatnya). Jumlahnya tiga buah, masing-masing satu buah untuk rumah induk,paceko dan lego-lego.
Lantai rumah tradisional Mandar terbuat dari papan (kayu) dan lattang,”Lattang” biasanya dipilih tarring (bambu) yang besar dan sudah tua.Lattang ini biasanya dipakai pada lantai paceko.
Dinding rumah tradisional Mandar pada umumnya terbuat dari papan,alisi dan taqta. Pada dinding sisi depan rumah, biasanya dilengkapi tiga”pepattuang” (jendela) dan satu ”ba’ba” (pintu). Dinding sisi depan ini biasanya dilengkapi ornamen pada bagian luar di bawah jendela. Pada dinding sisi kanan dan kiri rumah biasanya juga dilengkapi denganpepattuang sebanyak dua atau tiga buah.
Pepattuang berbentuk segi empat yang rata-rata terdiri atas dua daun jendela yang berukuran sekitar 100 x 40 cm. Daun jendela itu dapat dibuka ke kiri dan ke kanan. Letak pepattuang biasanya berada antara dua buah tiang rumah. Untuk memperindah, pepattuang ini biasanya diberi ornamen berupa ukiran dan terali dari kayu yang jumlahnya selalu ganjil. Terali-terali tersebut ada yang dipasang secara vertikal dan ada yang horisontal. Secara vertikal mempunyai makna hubungan yang harmonis dengan Tuhannya. Sedangkan secara horisontal mempunyai makna hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Pemasangan ornamen seperti itu hanya tampak pada jendela yang ada di bagian depan dan sisi kiri kanan rumah. Pemasangan ornamen berupa ukiran dan terali-terali juga dapat dilihat pada bangunan tambahan di depan rumah, yaitu lego-lego.
Prosesi ritual menurut kepercayaan masyarakat tradisional Mandar biasanya dimulai dari ”possi arriang”. Pada ”possi arriang” diikat lipaq(sarung) dan mukena atau kebaya. Sarung melambangkan jiwa laki-laki dan kebaya atau mukena sebagai jiwa perempuan. Kedua jiwa tersebut harus menyatu di dalam ”possi arriang” kemudian tiang ”possi arriang”disiram dengan air dari dalam cerek. Air yang tersisa di dalam cerek tadi dimasukkan dalam botol kemudian digantung pada ”possi arriang” . segala bahan kelengkapan upacara mattoddoq boyang, seperti tebu, pisang, kelapa juga digantung pada ”possi arriang” . Bahan kelengkapan upacara biasanya digantung setelah rumah berdiri.
Bilamana rumah ”boyang” akan diberi tambahan bangunan, sepertipaceko dan lego-lego, maka setelah bangunan induk berdiri tegak dilanjutkan pendirian tiang paceko. Tambahan untuk Paceko biasanya terdiri atas satu deretan tiang yang jumlahnya enam batang ditambah satu batang di dekat tangga belakang. Setelah tiang berdiri, dilanjutkan pemasangan aratang naong dan aratang diaya yang dikuatkan denganpassanna. Seluruh tiang paceko juga diberi batu arriang. Setelah pendirian tiang paceko, dilanjutkan pula pada pendirian tiang lego-lego.Untuk boyang adaq, jumlah tiang lego legonya sebanyak empat batang. Sedangkan boyang beasa jumlah tiang lego legonya sebanyak dua batang.
Ragam Hias dan Ornamen
Pada umumnya rumah tradisional, baik rumah bangsawan maupun rumah orang biasa di tana Mandar, memakai ”ragam hias ornamen”.Pada bagian atap, dinding, plafon dan sebagainya. ”Ornamen” selain berfungsi sebagai hiasan atau ornamen, juga berfungsi sebagai identitas sosial, dan makna-makna budaya dalam masyarakat. Corak “ornamen”umumnya bersumber dari alam sekitar manusia seperti flora, fauna, gambaran alam, agama dan kepercayaan namun tidak semua flora, fauna dan sebagainya dapat dijadikan corak “ornamen”.




 Sumber : http://wahyudi-mustamin.blogspot.com/



ichankjuradi(c)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar