Konsep Mandar
Identitas Arsitektur Tradisional Mandar tergambar dalam bentuk rumah tradisional yang disebut ”boyang” . dikenal adanya dua jenis boyang,yaitu : ”boyang adaq” dan ”boyang beasa”. ”Boyang adaq” ditempati oleh keturunan bangsawan, sedangkan ”boyang beasa” ditempati oleh orang biasa. Pada ”boyang adaq” diberi penanda sebagai simbolik identitas tertentu sesuai tingkat status sosial penghuninya. Simbolik tersebut, misalnya ”tumbaq layar” yang bersusun antara 3 sampai 7 susun, semakin banyak susunannya semakin tinggi derajat kebangsawanan seseorang. Sedangkan pada boyang beasa, ”tumbag layar” nya tidak bersusun. Simbolik lain dapat dilihat pada struktur tangga. Pada boyang adaq,
tangganya terdiri atas dua susun, susunan pertama yang terdiri atas
tiga anak tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas sembilan atau
sebelas anak tangga. Kedua susunan anak tangga tersebut diantarai oleh
pararang . sedangkan boyang beasa,tangga tidak bersusun.
Rumah tradisional Mandar berbentuk panggung yang terdiri atas tiga bahagian, sama ”Ethos Kosmos” yang berlaku pada etnis Bugis Makassar. Bagian pertama disebut ”tapang” yang letaknya paling atas, meliputi atap dan loteng. Bagian kedua disebut ”roang boyang” , yaitu ruang yang ditempati manusia, dan bagian ketiga disebut ”naong boyang” yang letaknya paling bawah. Demikian pula bentuk pola lantainya yang segi empat, terdiri atas ”tallu lotang” (tiga petak). Petak pertama disebut”samboyang” (petak bagian depan), petak kedua disebut ”tangnga boyang” (petak bagian tengah) dan petak ketiga disebut ”bui’ lotang”(petak belakang).
Tatanan dan aturan rumah adat, tiga susun dan tiga petak menunjukkan makna pada filosofi orang Mandar yang berbunyi : ”da’dua tassasara, tallu tammallaesang” (dua
tak terpisah, tiga saling membutuhkan). Adapun dua yang tak terpisahkan
itu adalah aspek hukum dan demokrasi, sedangkan tiga saling membutuhkan
adalah aspek ekonomi, keadilan, dan persatuan.
Struktur bangunan rumah orang mandar, terdiri dari bagian paling atas, yaitu ”ate” (atap). Atap rumah berbentuk prisma yang memanjang ke belakang menutupi seluruh bagian atas rumah.
Pada masa lalu, rumah-rumah penduduk, baik boyang adaq maupunboyang beasa menggunakan
atap rumbia. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut banyak tersedia
dan mudah untuk mendapatkannya. Pada bagian depan atap terdapat ”tumbaq layar” yang memberi”identitas” tentang status penghuninya. Pada ”tumbaq layar” tersebut dipasang ornamen ukiran bunga melati.
Di ujung bawah atap, baik pada bagian kanan maupun kiri diberi ornamen
ukiran burung atau ayam jantan. Pada bagian atas penutup bubungan, baik
di depan maupun belakang dipasang ornamen yang tegak ke atas. Ornamen
itu disebut”teppang”.
Di bawah atap terdapat ruang yang diberi lantai menyerupai lantai rumah. Ruang tersebut diberi nama ”tapang”. Lantai tapang tidak
menutupi seluruh bagian loteng. Pada umumnya hanya separuh bagian
loteng yang letaknya di atas ruang tamu dan ruang keluarga. Tapangberfungsi sebagai gudang untuk menyimpang barang-barang. Bila ada hajatan dirumah tersebut, tapang berfungsi sebagai tempat menyimpan bahan makanan sebelum dihidangkan atau didistribusikan. Pada masa lalu, ”tapang” tersebut
sebagai tempat atau kamar calon pengantin wanita. Ia ditempatkan pada
kamar tersebut sebagai tindakan preventif untuk menjaga ”siriq” (harga diri). Untuk naik ke tapang, terdapat
tangga yang terbuat dari balok kayu atau bambu. Tangga tersebut
dirancang untuk tidak dipasang secara permanen, hanya dipasang pada saat
akan digunakan.
Rumah orang Mandar, baik boyang adaq maupun boyang beasamengenal tiga petak ruangan yang disebut lotang. Ruangan tersebut terletak di bawah tapang yang menggunakan lantai yang terbuat dari papan atau bilah bambu. Adapun ketiga ”lotang” ruangan tersebut adalah : ”Samboyang”, yaitu petak paling depan. ”Tangnga boyang”,
petak bagian tengah rumah. Petak ini berfungsi sebagai ruang keluarga,
di mana aktivitas keluarga dan hubungan sosial antara sesama anggota
rumah tangga. ”Bui’ boyang”, petak paling belakang. Petak ini sering ditempatkan ”songi” (kamar) untuk anak gadis atau para orang tua seperti nenek dan kakek. Penempatan songi untuk
anak gadis lebih menekankan pada fungsi pengamanan dan perlindungan
untuk menjaga harkat dan martabat keluarga. Sesuai kodratnya anak gadis
memerlukan perlindungan yang lebih baik dan terjamin.
Ketiga petak di dalam roang boyang tersebut
memiliki ukuran lebar yang berbeda. Petak yang di tengah biasanya lebih
lebar dibanding dengan petak-petak yang lainnya. Sedangkan petak yang
paling depan lebih lebar dibanding dengan petak yang paling belakang.
Khusus pada boyang adaq, di dalam roang boyang terdapat ruangan atau petak yang lantainya lebih rendah ”tambing” atau ”pelleteang”.Letaknya
selalu dipinggir dengan deretan tiang yang kedua dari pinggir, mulai
dari pintu depan ke belakang. Ruangan ini merupakan tempat lalu lalang
anggota keluarga. Olehnya itu, pemasangan lantai yang terbuat dari papan
agak dijarangkan agar berbagai kotoran, seperti debuh, pasir, dan
sebagainya dapat lebih mudah jatuh ke tanah. Selain itu, ruang ini juga
berfungsi untuk menerima tamu dari kalangan masyarakat biasa danata (budak).
Bangunan tambahan yang diletakkan di belakang bangunan induk disebut”paceko” (dapur).
Bangunan tersebut biasanya dibuat secara menyilang dengan bangunan
induk. Panjangnya minimal sama dengan lebar bangunan induk, dan lebarnya
minimal sama dengan satu petak bangunan induk. Bangunan ini disertai
ruang yang lapang, sehingga mempunyai banyak fungsi. Pada ”paceko” juga tersedia tempat buang air kecil yang disebut ”pattetemeangang”.
Bangunan tambahan yang ada di depan rumah yang disebut dengan”lego-lego” (teras).
Bangunan ini biasanya lebih sempit dibanding dengan bangunan tambahan
bagian belakang. Kendati demikian, bangunan tersebut tampak lebih indah
dihiasi berbagai ornamen, baik yang berbentuk ukiran maupun yang
berbentuk garis-garis vertikal dan horisontal. Fungsi bangunan ini
adalah sebagai tempat sandaran tangga depan, tempat istirahat pada sore
hari dan tempat duduk sebelum masuk rumah.
Rumah tradisional Mandar, baik ”boyang adaq” maupun boyang beasapada
umumnya mempunyai dua tangga, yaitu tangga depan dan tangga belakang.
Setiap tangga mempunyai anak tangga yang jumlahnya selalu ganjil. Jumlah
anak tangga pada setiap tangga berkisar 7 sampai 13 buah. Jumlah
tersebut disesuaikan dengan tinggi rumah. Pada umumnya,boyang adaq memiliki anak tangga yang lebih banyak, yaitu berkisar 11 sampai 13 buah. Sedangkan ”boyang beasa” sekitar 7 sampai 9 buah. Pada boyang adaq, tangga depannya bersusun dua dilengkapi dengan pasangan. Sedangkan ”boyang beasa”, tangganya tidak bersusun dan tidak dilengkapi pegangan.
Terdapat ruang di bawah lantai yang disebut ”naong boyang” (kolong rumah). Pada masa lalu, kolong rumah hanya berlantai tanah. Ditempat itu sering dibuatkan ”rambang” sebagai kandang ternak. Ada kalanya sebagai tempat manette (menenun) kain sarung bagi kaum wanita.
Bagian yang lain pada rumah adalah rinding (dinding). Dinding rumah terbuat dari kayu (papan) dan bambu (taqta dan alisi ). Pada umumnya,boyang adaq mempunyai dinding yang terbuat dari papan. Sedangkanboyang beasa selain berdinding papan, juga ada yang berdinding taqtadan alisi, rumah yang berdinding taqta dan alisi, penghuninya
berasal dari golongan ata (beasa). Dinding rumah dirancang dan dibuat
sedemikian rupa sesuai tinggi dan panjang setiap sisi rumah dan
dilengkapi jendela pada setiap antara tiang. Hal itu dibuat secara utuh
sebelum dipasang atau dilengketkan pada tiang rumah. Pembuatan dinding
seperti itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan pasangannya, demikian
pula untuk membukanya jika rumah tersebut akan dibongkar atau
dipindahkan.
Mendirikan rumah ”boyang” melalui suatu tahapan kegiatan yang meliputi persiapan, membangun ”boyang” dan
hasil kegiatan berupa ”bangunan” atau rumah tradisional. Dalam proses
persiapan ada beberapa hal yang patut diperhitungkan, yaitu bahan baku
yang tersedia dari lingkungan alam sekitar (lokal) maupun dari luar
(dari daerah lain), menyiapkan ”pappapia buyang”
(tukang dan ahli) sesuai latar belakang sosial budaya penghuninya. Gaya
arsitektur tradisional banyak dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang
tersedia disekitar lingkungan alam setempat.
Gambar 5. Boyang Adaq Mandar
Suatu bangunan rumah ”boyang” tidak hanya berfungsi sebagai
tempat tinggal, tetapi memiliki nilai dan makna tersendiri sesuai
dengan adat istiadat masyarakat tradisional Mandar. Olehnya itu, suatu
rumah tradisional memiliki ciri khas terutama pada tipologi,
interior/eksterior, dan ornamen yang ada didalamnya.
Membangun
rumah tradisional mandar memerlukan beberapa rangkaian kegiatan seperti
musyawarah antar sesama keluarga atau kerabat, pemilihan lokasi atau
tempat mendirikan rumah, dan pengadaan bahan baku untuk tiang, lantai,
atap dan sebagainya.
Bagi orang Mandar, setiap akan membangun rumah ”boyang” senantiasa
didahului dengan suatu pertemuan antara seluruh keluarga atau kerabat.
Dalam pertemuan tersebut dilakukan musyawarah, yang biasanya dipimpin
oleh anggota keluarga yang lebih tua dan banyak tahu tentang nilai-nilai
dan adat istiadat dalam masyarakat tradisionalnya. Untuk mendapatkan
hasil yang baik dalam pelaksanaan musyawarah dihadirkan pula pappapia boyang (tukang
ahli rumah). Musyawarah lebih diutamakan pada penilaian status sosial
yang akan menempati rumah tersebut. Sebab dari status sosial yang akan
menempati rumah tersebut. Dapat diketahui jenis dan bentuk rumah yang
akan dibangun. Kalau yang bersangkutan berstatus bangsawan, maka jenis
rumah yang akan dibangun adalah ”boyang adaq”, bila yang bersangkutan berasal dari golongan masyarakat biasa, maka rumah yang akan dibangun adalah”boyang beasa”. Dalam musyawarah tersebut penilaian dan penentuan susunan tumbaq layar juga dibicarakan.
Pemilihan waktu mendirikan ”boyang” juga
sangat penting, karena terkait dengan kepercayaan masyarakat
tradisionalnya. Menurut mereka, ada waktu yang baik dan ada waktu yang
buruk. Waktu yang baik selalu dihubungkan dengan ”keberuntungan” dan ”keselamatan”.Pemilihan waktu. Sedangkan waktu yang buruk selalu dihubungkan dengan ”bala”, bencana
dan ketidak mujuran, karena itu kegiatan awal dalam memulai mengerjakan
rumah senantiasa berpedoman pada waktu-waktu baik, hari-hari baik
adalah senin, kamis, dan jumat. Bulan-bulan tertentu dianggap kurang
baik, seperti Muharram, Syafar, Jumadil Awal, dan Dzulkaiddah.
Pemilihan tempat mendirikan ”boyang” sangat terkait dengan kepercayaan tradisi masyarakat tentang adanya tanah yang baik dan kurang baik untuk dibanguni ”boyang”. Tanah
yang baik adalah tanah yang agak keras, tidak lembek. Biasanya berada
pada daerah yang relatif sedikit tinggi atau bukit. Selain itu, tanah
tersebut sebaiknya ”berbau wangi”. Tanah seperti ini memberi makna
keharuman, agar keluarga mereka kelak dapat memperoleh kebahagiaan,
keharmonisan dalam rumah tangga.
Orientasi rumah ”boyang” yang
paling baik adalah berorientasi pada arah yang mengandung makna
positif, yaitu arah timur tempat matahari terbit. Arah pergerakan
matahari yang menanjak naik mengandung makna kebaikan, yaitu selalu
bertambah ”naik” .
dalam pengertian ini, yang diharapkan selalu bertambah adalah nasib
baik, terutama rezki dan amal kebijakan. Dengan arah rumah ketimur,
cahaya matahari pagi dapat menyinari ruang lego-lego hingga
kedalam rumah. Setelah agama Islam masuk di daerah Mandar, maka
muncullah pandangan baru bahwa arah barat juga baik. Arah barat dianggap
menghadap ke kiblat.
Sedangkan bahan bangunan diusahakan dan diambil dari lingkungan alam sekitar. Penebangan ayu (kayu) dan bambu biasanya disesuaikan dengan waktu baik. Waktu-waktu baik adalah sama halnya pada saat memulai membangun rumah ”boyang”. Pada saat menebang kayu, yang pertama harus ditebang adalah bahan untuk membuat possi arring (tiang pusat). Jenis kayu yang diperuntukkan untuk possi arring tidaklah sembarang, biasanya kayu ”sumaguri” dan ”cawe-cawe” .
kedua jenis kayu tersebut mengandung makna simbolis. Untuk jenis
sumaguri mengandung makna ”empati kepada seluruh masyarakat”. Jadi,
jenis kayu tersebut banyak digunakan pada possi arriang rumah
adaq. Sedangkan jenis kayu cawe-cawe mengandung makna ”semangat atau
mengairahkan”. Jenis kayu tersebut pada umumnya digunakan untuk ”possi arriang” rumah biasa. Hal ini dimaksudkan agar penghuninya kelak senangtiasa bersemangat atau bergairah dalam mengarungi kehidupan dunia.
Penebangan kayu untuk ”possi arriang” harus dilakukan oleh ”sando boyang”. Sebelum melakukan penebangan, ”sando boyang” melakukan
upacara ritual yang dilakukan sendiri dirumahnya. Waktu penebangan
diupayakan pada hari-hari baik. Adapun hari baik menebangan kayu untuk ”possi arriang” adalah hari ke 14 terbitnya bulan, orang Mandar menyebutnya ”tarrang bulan” (terang
bulan), atau pada hari ke delapan sebelum tenggelamnya bulan.
Penebangan kayu dilakukan pada pagi hari sekitar jam 09.00. Penebangan
kayu dapat dilakukan oleh beberapa orang, tetapi pekerjaannya harus
dimulai oleh sando boyang. Ada
hal yang penting untuk diperhatikan dan diperhitungkan pada saat
menebangan kayu, yaitu kayu tersebut harus tumbang dan jatuh kearah
matahari terbit. hal ini dimaksudkan agar cahaya matahari senantiasa
menerangi rumah yang akan dibangun. Dalam pengertian ini terdapat makna
simbolis, bahwa diharapkan kelak rumah yang akan dibangun itu senantiasa
dalam kondisi yang terang bercahaya.
Pembangunan rumah tradisional ”boyang”, dimulai dari pembuatan tiang ”arriang”.
Setiap rumah memiliki tiang minimal 20 batang. Tiang tersebut diatur
dan disusun berjejer kesamping dan kebelakang. Setiap jejeran ke samping
biasanya terdiri atas lima batang. Sedangkan jejeran ke belakang
biasanya empat batang (tidak termasuk tiang paceko). Kelima tiang yang berjejer ke samping diupayakan memiliki lekukan dan bengkok yang sama. Dalam pembuatan ”arriang”, pekerjaan pertama yang harus dibuat adalah ”possi arriang” (tiang pusat). Setelah ”possi arriang” usai
dikerjakan, maka dilanjutkanlah pekerjaan pada seluruh tiang rumah
lainnya. Pekerjaan seluruh tiang tersebut harus diperhatikan
ujung-pangkalnya. Semua tiang pangkalnya harus berada di bawah, tidak
boleh terbalik.
Bagi rumah tradisional yang mempunyai paceko dan lego-lego, maka harus menggunakan minimal lima tiang tambahan untuk Paceko dan dua atau empat tiang untuk lego lego.
Rumah tradisional Mandar yang terdiri atas tallu lontang, jumlah pasak yang dibutuhkan sebanyak 18 buah. Pasak tersebut terdiri atas empat untuk passolor, empat untuk baeq, lima araiang diaya dan aratang naong. Selain itu, bilamana rumah tersebut mempunyai tambing, maka harus ditambah lagi aratang diaya dan aratang naong masing-masing satu buah. Bila rumah tersebut ditambah paceko, maka harus ditambah lagi passollor dan baeq sebanyak lima buah. Sedangkan aratang diayadan aratang naong masing-masing dua buah. Selain pasak, terdapat pula balok kayu yang bentuknya pipih menyerupai pasak. Kayu ini disebutpambalimbungan (tulang punggung, paling diatas tempatnya). Jumlahnya tiga buah, masing-masing satu buah untuk rumah induk,paceko dan lego-lego.
Lantai rumah tradisional Mandar terbuat dari papan (kayu) dan lattang,”Lattang” biasanya dipilih tarring (bambu) yang besar dan sudah tua.Lattang ini biasanya dipakai pada lantai paceko.
Dinding rumah tradisional Mandar pada umumnya terbuat dari papan,alisi dan taqta. Pada dinding sisi depan rumah, biasanya dilengkapi tiga”pepattuang” (jendela) dan satu ”ba’ba” (pintu).
Dinding sisi depan ini biasanya dilengkapi ornamen pada bagian luar di
bawah jendela. Pada dinding sisi kanan dan kiri rumah biasanya juga
dilengkapi denganpepattuang sebanyak dua atau tiga buah.
Pepattuang berbentuk
segi empat yang rata-rata terdiri atas dua daun jendela yang berukuran
sekitar 100 x 40 cm. Daun jendela itu dapat dibuka ke kiri dan ke kanan.
Letak pepattuang biasanya berada antara dua buah tiang rumah. Untuk memperindah, pepattuang ini
biasanya diberi ornamen berupa ukiran dan terali dari kayu yang
jumlahnya selalu ganjil. Terali-terali tersebut ada yang dipasang secara
vertikal dan ada yang horisontal. Secara vertikal mempunyai makna
hubungan yang harmonis dengan Tuhannya. Sedangkan secara horisontal
mempunyai makna hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Pemasangan
ornamen seperti itu hanya tampak pada jendela yang ada di bagian depan
dan sisi kiri kanan rumah. Pemasangan ornamen berupa ukiran dan
terali-terali juga dapat dilihat pada bangunan tambahan di depan rumah,
yaitu lego-lego.
Prosesi ritual menurut kepercayaan masyarakat tradisional Mandar biasanya dimulai dari ”possi arriang”. Pada ”possi arriang” diikat lipaq(sarung)
dan mukena atau kebaya. Sarung melambangkan jiwa laki-laki dan kebaya
atau mukena sebagai jiwa perempuan. Kedua jiwa tersebut harus menyatu di
dalam ”possi arriang” kemudian tiang ”possi arriang”disiram dengan air dari dalam cerek. Air yang tersisa di dalam cerek tadi dimasukkan dalam botol kemudian digantung pada ”possi arriang” . segala bahan kelengkapan upacara mattoddoq boyang, seperti tebu, pisang, kelapa juga digantung pada ”possi arriang” . Bahan kelengkapan upacara biasanya digantung setelah rumah berdiri.
Bilamana rumah ”boyang” akan diberi tambahan bangunan, sepertipaceko dan lego-lego, maka setelah bangunan induk berdiri tegak dilanjutkan pendirian tiang paceko. Tambahan untuk Paceko biasanya
terdiri atas satu deretan tiang yang jumlahnya enam batang ditambah
satu batang di dekat tangga belakang. Setelah tiang berdiri, dilanjutkan
pemasangan aratang naong dan aratang diaya yang dikuatkan denganpassanna. Seluruh tiang paceko juga diberi batu arriang. Setelah pendirian tiang paceko, dilanjutkan pula pada pendirian tiang lego-lego.Untuk boyang adaq, jumlah tiang lego legonya sebanyak empat batang. Sedangkan boyang beasa jumlah tiang lego legonya sebanyak dua batang.
Ragam Hias dan Ornamen
Pada umumnya rumah tradisional, baik rumah bangsawan maupun rumah orang biasa di tana Mandar, memakai ”ragam hias ornamen”.Pada bagian atap, dinding, plafon dan sebagainya. ”Ornamen” selain
berfungsi sebagai hiasan atau ornamen, juga berfungsi sebagai identitas
sosial, dan makna-makna budaya dalam masyarakat. Corak “ornamen”umumnya
bersumber dari alam sekitar manusia seperti flora, fauna, gambaran
alam, agama dan kepercayaan namun tidak semua flora, fauna dan
sebagainya dapat dijadikan corak “ornamen”.
Sumber : http://wahyudi-mustamin.blogspot.com/
ichankjuradi(c)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar