Konon ketika Khatib Sulaiman tiba di Kerajaan Gowa Tallo pada awal abad ke-16 ia bersama Khatib Bungsu dan Khatib Tunggal yang berasal dari Minangkabau telah menyebarkan agama Islam pada penduduk setempat. Meski demikian ketiganya juga mencoba untuk mengislamkan kalangan kerajaan, utamanya raja Gowa dan Tallo. Namun mereka menemui kendala yang cukup besar. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari daerah atau kerajaan lain utuk menyebarkan agama Islam.
Sebelum
ketiganya pergi, mereka teringat akan pesan dari raja di Pulau
Kalimantan yang sempat mereka singgahi ketika menuju Pulau Celebes.
Ketika itu sang raja menyarankan jika ingin menyebarkan agama Islam di
jazirah Sulawesi, maka yang harus mereka lakukan terlebih dahulu adalah
mengislamkan raja Luwu. Karena menurut sang raja, Luwu merupakan
kerajaan yang tertua dan yang disegani di jazirah Sulawesi.
Akhirnya
mereka sepakat menuju ke Luwu bersama-sama. Datu Luwu yang berkuasa
saat itu adalah La Pattiware Daeng Parabung (1587-1615). Mereka pun
berlabuh di sebuah desa yang bernama Lapandoso, sesampainya di sana
mereka lalu dipertemukan dengan Tandi Pau (Maddika Bua saat itu).
Setelah melalui perbincangan yang panjang, akhirnya Maddika Bua mau
menerima agama yang dibawa oleh ketiga Khatib tersebut asalkan tidak
diketahui oleh sang Datu karena ia takut durhaka bila mendahului sang
Datu.
Sebelum
ketiganya berangkat ke Pattimang (pusat kerajaan Luwu waktu itu),
ketiganya bersama masyarakat setempat membangun sebuah masjid di desa
Tana Rigella. Setelah mengislamkan penduduk Bua waktu itu, ketiganya pun
diantar oleh Maddika Bua menuju Pattimang menghadap kepada sang Datu.
Sesampainya di sana, mereka pun dipertemukan dengan Datu dan
memberitahukan maksud kedatangannya untuk menyebarkan agama Islam. Sang
Datu pun meminta penjelasan kepada ketiga Khatib tersebut mengenai agama
yang mereka bawa. Mendengar penuturan tamunya, Datu hanya tersenyum, ia
memang sangat tetarik dengan agama yang diperkenalkan oleh ketiga
Khatib itu. Apalagi konsep ketuhanannya hampir sama dengan konsep
ketuhanan masyarakat Luwu..
Namun
sang Datu tidak begitu saja mempercayainya. Datu Luwu pun bermaksud
menguji kemampuan Khatib Sulaiman selaku pimpinan rombongan. Ia
menganggap orang yang membawa agama yang besar pastilah memiliki
kekuatan yang besar pula.. Datu Pattiware pun mengemukakan keinginannya
tersebut kepada Khatib Sulaiman, sang khatib pun meluluskan keinginan
sang Datu. Sesuai dengan kesepakatan, apa pun yang dilakukan sang Datu
juga harus dilakukan oleh Khatib Sulaiman begitupun sebaliknya. Dan
apabila Khatib Sulaiman sanggup melakukan semua yang dilakukan sang
Datu, maka raja dan seluruh masyarakat Luwu akan memeluk agama Islam,
namun jika tidak maka keduanya harus meninggalkan Tana Luwu.
Tibalah
saatnya pertarungan kekuatan dilaksanakan, masyarakat pun
berbondong-bondong mendatangi lapangan dekat istana yang akan dijadikan
sebagai arena pertarungan. Peralatan pertarungan pun telah disiapkan.
Untuk pertarungan pertama, mereka diharuskan menyusun telur yang telah
disiapkan sampai habis. Sesuai dengan kesepakatan, sang Datu lah yang
terlebih dahulu maju. Dengan tenang, ia mengambil telur-telur tersebut
dengan tangan kirinya dan meletakkan di tangan kanannya hingga melebihi
tinggi pohon kelapa. Kini tiba giliran Khatib Sulaiman, dengan membaca
basmalah ia mulai mengambil telur-telur itu dan menaruhnya di tangan
kanannya seperti yang dilakukan oleh sang Datu. Rakyat Luwu yang
menonton seolah tidak menyangka Khatib Sulaiman dapat melakukan hal yang
sama dengan raja mereka. Bahkan sang Khatib menarik beberapa butir
telur yang berada di tengah-tengah tanpa ada satupun telur yang jatuh.
Melihat hal itu, sang Datu pun melakukan hal yang sama tanpa ada satu
pun butir telur yang jatuh. Karena sang khatib mampu melakukan apa yang
dilakukan oleh raja maka pertarungan kembali diteruskan.
Kali
ini dua buah ember yang berisi air telah diletakkan di atas sebuah
meja. Adu kekuatan kali ini adalah membalik ember tersebut tanpa
menumpahkan isinya. Sang datu pun terlebih dahulu maju, dengan tenang ia
pun membalik ember berisi air itu tanpa menumpahkan airnya sedikitpun.
Tiba giliran Khatib Sulaiman untuk melakukan hal yang sama dengan
terlebih dahulu meminta izin kepada sang raja. Dengan mengucapkan
basmalah, ia pun dapat melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan
oleh sang Datu, bahkan ia dapat membelah air yang telah berbentuk
cetakan itu dengan hati-hati. Melihat kejadian itu, sang Datu kembali
maju dan melakukan hal yang sama.
Adu
kekuatan diantara keduanya terus berlangsung dan seperi biasa diantara
keduanya tidak ada yang kalah dan menang sampai matahari telah berada di
atas kepala. Pertarungan pun dihentikan sejenak, ketiga Khatib itupun
mengambil air wudhu dan melakukan shalat seraya berdoa memohon petunuk
kepada Yang Maha Kuasa.
Setelah
melaksanakan shalat, Khatib Sulaiman menghampiri Datu Pattiware dan
mengatakan kalau kekuatan mereka seimbang, diantara mereka tidak ada
yang menang maupun kalah. Sang Datu pun bertanya, hal apa lagi yang bisa
membuat ia percaya dan memeluk agama Islam?
Lantas
sang khatib meminjam cincin raja Pattiware, ia lalu menuju dermaga
sambil membawa cincin tersebut diikuti oleh raja dan masyarakat.
Setibanya di dermaga, ia lalu melemparkan cincin tersebut dengan sekuat
tenaga, wajah raja pun memerah namun Khatib Sulaiman mampu meredam
kemarahan sang raja dan masyarakat. Sang Khatib lalu mengatakan kepada
sang raja kalau cincin yang kini berada di laut insya Allah akan kembali
dalam waktu satu purnama atau bahkan bisa lebih cepat.
Mendengar
ucapan sang Khatib, Datu Pattiware benar-benar bingung, hal yang
dialakukan oleh sang Khatib kali ini benar-benar tak sanggup dicerna
oleh nalarnya. Ia lalu berkata kalau cincin itu benar-benar kembali,
maka ia dan seluruh rakyat Luwu akan memeluk dan menjadikan Islam
sebagai agama kerajaan, kalau tidak kepala mereka akan dipenggal karena
telah berbuat lancang. Ketiganya kemudian ditahan sampai cincin itu
kembali.
Waktu
terus berlalu, hingga tiba-tiba ada laporan bahwa cincin itu telah
kembali dan berada dalam perut ikan yang besar. Lantas sang raja pun
pergi ke dapur kerajaan untuk melihat kejadian itu. Ia sungguh tidak
menyangka kalau cincinnya yang pernah dibuang Khatib Sulaiman telah
kembali dan berada di dalam perut ikan. Sang raja lalu menanyakan
darimana ikan itu di dapat oleh sang juru masak.
Sang
juru masak mengatakan kalau tadi pagi ada seorang nelayan yang
memberikan ikan tersebut kepada raja sebagai ungkapan syukur karena
hasil tangkapannya banyak.
Sang
Raja lalu memanggil ketiga Khatib yang ditahan tersebut dan mengatakan
kesediaannya untuk memeluk agama yang mereka bawa seperti janji yang
telah ia katakan sebelumnya. Ketiga khatib tersebut sujud syukur karena
telah melalui tantangan terbesar dalam mengislamkan jazirah Sulawesi.
Setelah
mendapat izin dari raja, ketiganya lalu berangkat mengislamkan daerah
lain di jazirah Sulawesi. Setelah melaksanakan tugasnya, Khatib Sulaiman
kembali ke Tana Luwu dan menetap hingga akhir hayatnya dan diberi gelar
Dato’ Pattimang karena ia dikuburkan di desa Pattimang, sedangkan
Khatib Bungsu menetap di Bulukumba dan diberi gelar Dato’ ri Tiro dan
Khatib Tunggal menetap di kerajaan Gowa dan Tallo dan diberi gelar Dato’
ri Bandang.
Beni Sjamsuddin Toni (Admin Wija To Luwu)
Disadur dari berbagai sumber
Sumber : http://wahyudi-mustamin.blogspot.com
ichankjuradi(c)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar